Cinta adalah kalimat yang selalu terucap di mulut setiap orang. Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa mencintai orang-orang seperti orang tua, tetangga, bahkan seseorang wanita idaman kita apabila kita adalah pria, atau seorang pria apabila kita wanita.
Berbicara tentang cinta, saya teringat akan sebuah e-book yang telah saya baca baru-baru ini. E-book tersebut berjudul "Empat cowok mencari cinta.Dalam e-book tersebut menceritakan tentang empat cowok yang berjuang bersama-sama dalam mendapatkan cinta mereka. Dan di dalam e-book tersebut, dikisahkan cara-cara mereka dalam meraih cinta mereka. Adapun cara mereka adalah dengan berkenalan dengan pujaan hatinya, sampai mencoba melakukan pendekatan yang tentunya pendekatan tersebut Membawa dampak fositif. Begitulah cara-cara yang sebenarnya yang kita lakukan untuk mencari cinta.
Jadi, berdasarkan reverensi yang telah saya sebutkan di atas, dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwa dalam mencari cinta kepada seseorang itu tidak semuda membalikkan telapak tangan. Kita harus melakukan usaha-usaha untuk mendapatkan cinta. Tetapi yang paling terpenting adalah do'a semoga Allah SWT, memberikan kekuatan kepada hambanya sehingga kita bisa dapat menjalankan segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya.
Tampilkan postingan dengan label karia tulis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label karia tulis. Tampilkan semua postingan
Senin, 14 Februari 2011
Kamis, 23 Desember 2010
PELATIHAN JURNALISTIK
OLEH: ADE SAPUTRA
Pada tanggal 03-07-2010, Komunitas panyingkul bekerjasama dengan DPD Pertuni sulsel ngadain pelatihan jurnalistik buat ngebantu tunanetra bagaimana cara menulis yang benar. Pelatihan tersebut diadain hanya satu hari aja. Pelatihan itu dimulai pada pukul sepuluh lewat. Sebenarnya pelatihan tersebut menurut jadwal akan dimulai pada pukul delapan pagi, tetapi karena satu dan lain hal sehingga pelatihan tersebut diundur sampai jam sepuluh pagi. Adapun pemateri dari pelatihan tersebut adalah kanda Rahman Gimpe yang membahas gimana cara membuat naskah wawancara. Pada materi pertama ini, beliau menugaskan kepada para peserta untuk memawancarai sesamanya peserta. Saat itu saya juga ngak ketinggalan ambil bagian dalam tugas itu. Adapun peserta yang menjadi clayen saya adalah Kanda Indah. Tehnisnya adalah saya yang duluan mewawancarai Kak indah dan setelah itu berbalik arah orang. Kalau awalnya saya mewawancarai Kak indah, setelahnya giliran kak indah yang mewawancarai saya.
Setelah tugas wawancara selesai, dilanjutkan dengan session Tanya jawab yang membuka kesempatan yang lebar untuk para peserta untuk mengajukan pertanyaan. Saya juga ngak ketinggalan untuk mengajukan pertanyaan. Adapun pertanyaan yang saya ajukan adalah “Bagaimana cara menjadi penulis yang benar?” Setelah materi pertama , dilanjutkan dengan istirahat, shalat dan makan siang (Ishoma). Setelah Ishoma, dilanjutkan dengan materi kedua yang membahas gimana cara membuat video komunitas. Materi tersebut dibawakan oleh kanda Aan Mansyur. Menurut saya, materi yang satu ini tidak pantas untuk tunanetra. Namun karena ada juga peserta yang non tunanetra, maka dimasukanlah materi tersebut. Dalam materi tersebut lagi-lagi kanda Aan memberikan tugas kepada para peserta. Tugas yang diberikan dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, ditugaskan untuk mendokumentasikan para peserta yang sedang mewawancarai sesamanya peserta. Sedangkan kelompok kedua, ditugaskan untuk mencatat hasil dari wawancaranya. Dan setelahnya akan dipresentasikan sambil kelompok pertama kembali mendokumentasikan para pencatat hasil wawancara membacakan hasil wawancaranya. Setelah hasil-hasil wawancara dibacakan oleh peserta dari kelompok kedua, kembali dibuka session Tanya jawab yang kembali mempersilahkan peserta untuk mengajukan pertanyaan. Setelah materi kedua selesai, dilanjutkan dengan sambutan penutup dari Kanda yus. Setelah itu dilanjutkan dengan penutupan yang dipimpin oleh kanda Makmur kam. Selain peserta dari DPD Pertuni sulsel, para peserta dari organisasi lain juga turut hadir diantaranya Himpunan wanita Penyandang Cacat (HWPCI), Persatuan penyandang cacat Indonesia (PPCI), dan permata. Akhirnya terima kasih ya rabb, engkau telah memberikan kesempatan kepada teman-teman dari komunitas panyingkul untuk mengadakan pelatihan jurnalistik. Semoga selepas pelatihan ini saya dan seluruh peserta yang turut ambil bagian dalam pelatihan tersebut, bisa mengamalkan apa-apa yang telah didapatkan selama pelatihan berlangsung meskipun Cuma 1 hari, tapi saya berharap semoga pelatihan jurnalistik yang diadain ama komunitas panyingkul ini dapat bermanfaat, dan materi-materi yang telah didapatkan selama pelatihan berlangsung dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pada tanggal 03-07-2010, Komunitas panyingkul bekerjasama dengan DPD Pertuni sulsel ngadain pelatihan jurnalistik buat ngebantu tunanetra bagaimana cara menulis yang benar. Pelatihan tersebut diadain hanya satu hari aja. Pelatihan itu dimulai pada pukul sepuluh lewat. Sebenarnya pelatihan tersebut menurut jadwal akan dimulai pada pukul delapan pagi, tetapi karena satu dan lain hal sehingga pelatihan tersebut diundur sampai jam sepuluh pagi. Adapun pemateri dari pelatihan tersebut adalah kanda Rahman Gimpe yang membahas gimana cara membuat naskah wawancara. Pada materi pertama ini, beliau menugaskan kepada para peserta untuk memawancarai sesamanya peserta. Saat itu saya juga ngak ketinggalan ambil bagian dalam tugas itu. Adapun peserta yang menjadi clayen saya adalah Kanda Indah. Tehnisnya adalah saya yang duluan mewawancarai Kak indah dan setelah itu berbalik arah orang. Kalau awalnya saya mewawancarai Kak indah, setelahnya giliran kak indah yang mewawancarai saya.
Setelah tugas wawancara selesai, dilanjutkan dengan session Tanya jawab yang membuka kesempatan yang lebar untuk para peserta untuk mengajukan pertanyaan. Saya juga ngak ketinggalan untuk mengajukan pertanyaan. Adapun pertanyaan yang saya ajukan adalah “Bagaimana cara menjadi penulis yang benar?” Setelah materi pertama , dilanjutkan dengan istirahat, shalat dan makan siang (Ishoma). Setelah Ishoma, dilanjutkan dengan materi kedua yang membahas gimana cara membuat video komunitas. Materi tersebut dibawakan oleh kanda Aan Mansyur. Menurut saya, materi yang satu ini tidak pantas untuk tunanetra. Namun karena ada juga peserta yang non tunanetra, maka dimasukanlah materi tersebut. Dalam materi tersebut lagi-lagi kanda Aan memberikan tugas kepada para peserta. Tugas yang diberikan dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, ditugaskan untuk mendokumentasikan para peserta yang sedang mewawancarai sesamanya peserta. Sedangkan kelompok kedua, ditugaskan untuk mencatat hasil dari wawancaranya. Dan setelahnya akan dipresentasikan sambil kelompok pertama kembali mendokumentasikan para pencatat hasil wawancara membacakan hasil wawancaranya. Setelah hasil-hasil wawancara dibacakan oleh peserta dari kelompok kedua, kembali dibuka session Tanya jawab yang kembali mempersilahkan peserta untuk mengajukan pertanyaan. Setelah materi kedua selesai, dilanjutkan dengan sambutan penutup dari Kanda yus. Setelah itu dilanjutkan dengan penutupan yang dipimpin oleh kanda Makmur kam. Selain peserta dari DPD Pertuni sulsel, para peserta dari organisasi lain juga turut hadir diantaranya Himpunan wanita Penyandang Cacat (HWPCI), Persatuan penyandang cacat Indonesia (PPCI), dan permata. Akhirnya terima kasih ya rabb, engkau telah memberikan kesempatan kepada teman-teman dari komunitas panyingkul untuk mengadakan pelatihan jurnalistik. Semoga selepas pelatihan ini saya dan seluruh peserta yang turut ambil bagian dalam pelatihan tersebut, bisa mengamalkan apa-apa yang telah didapatkan selama pelatihan berlangsung meskipun Cuma 1 hari, tapi saya berharap semoga pelatihan jurnalistik yang diadain ama komunitas panyingkul ini dapat bermanfaat, dan materi-materi yang telah didapatkan selama pelatihan berlangsung dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Senin, 20 Desember 2010
MENJADI MANUSIA YANG INGIN BERUBAH
OLEH: ADE SAPUTRA
Saya memilih judul ini mengingat ada salah satu penyakit yang masih dijangkiti oleh kita selaku manusia adalah sulit untuk berubah. |Maka pada kali ini saya akan shering bagaimana cara agar kita bisa berubah. Ngak usa terlalu panjang mukaddimanya saya langsung saja kepada intinya. Menurut kanda Hamzah M.Y, bahwa penyakit yang masih menjangkiti diri setiap manusia yaitu belum terjadi apa yang dimaksut perubahan. Baik dari segi tingka laku maupun dari segi tata krama.|Kanda Hamzah juga sempat menggambarkan perubahan dari dua faktor yaitu faktor fisik maupun faktor keseharian. Saya mulai dari faktor fisik. Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa fisik kita terus-menenerus mengalami perubahan. Mulai dari sejak kita bayi, kemudian berkembang biak menjadi manusia yang dewasa, kemudian meningkat menjadi tua, dan kemudian menjadi lebih tua, dan perubahan terakhir kita adalah kematian. |Kemudian dari segi keseharian, sejak bayi kita belum bisa mengenali benda-benda yang ada di sekeliling kita. |Kemudian ketika kita sudah berusia kanak-kanak kita sudah bisa bermain seperti bermain kelereng, dan permainan yang lain yang dipersamakan dengan itu. Kemudian setelah kita dewasa kita sudah bisa mengenali permainan-permainan seperti permainan game baik itu dimainkan dalam bentuk nen tendo, flashtation, sampai bermain game di komputer. Artinya perubahan baik itu secara fisik maupun secara keseharian kita telah banyak terjadi pada diri kita. Munculah pertanyaan perubahan apa lagi yang tidak tampak pada diri kita selaku umat manusia|? Jawabannya masih ada perubahan lagi yang belum nampak pada diri kita. Adapun faktor yang membuat kita sulit untuk berubah adalah faktor kemalasan. Yah, faktor itulah yang membuat kita sangat sulit untuk berubah. Misalnya kita malas belajar, malas beribadah, dan malas dalam melakukan segala hal-hal.
Jadi, berdasarkan fakta yang telah saya sebutkan di atas maka kita dapat menarik kesempulan bahwa malas adalah suatu hal yang membuat kita tidak bisa berubah ke arah yang lebih baik. Maka, wahai saudaraku marilah kita mencoba mengikis kemalasan kita. Bukankah Allah telah berfirman dalam surah ar-ra'ad yang berbunyi: "Innallaha layughairumabiqaumin hatta yughairumabiammfusihim" sesungguhnya Allah tidak merubah nasip suatu kaum kecuali mereka sendiri yang merubahnya". Semoga Allah SWT, senantiasa memberikan rahmatnya kepada kita sehingga kita bisa berubah dari arah yang jelek, menuju ke arah yang lebih baik. Dari jalan yang sesat menuju jalan yang dimuliakan oleh Allah. Amien!!!
Saya memilih judul ini mengingat ada salah satu penyakit yang masih dijangkiti oleh kita selaku manusia adalah sulit untuk berubah. |Maka pada kali ini saya akan shering bagaimana cara agar kita bisa berubah. Ngak usa terlalu panjang mukaddimanya saya langsung saja kepada intinya. Menurut kanda Hamzah M.Y, bahwa penyakit yang masih menjangkiti diri setiap manusia yaitu belum terjadi apa yang dimaksut perubahan. Baik dari segi tingka laku maupun dari segi tata krama.|Kanda Hamzah juga sempat menggambarkan perubahan dari dua faktor yaitu faktor fisik maupun faktor keseharian. Saya mulai dari faktor fisik. Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa fisik kita terus-menenerus mengalami perubahan. Mulai dari sejak kita bayi, kemudian berkembang biak menjadi manusia yang dewasa, kemudian meningkat menjadi tua, dan kemudian menjadi lebih tua, dan perubahan terakhir kita adalah kematian. |Kemudian dari segi keseharian, sejak bayi kita belum bisa mengenali benda-benda yang ada di sekeliling kita. |Kemudian ketika kita sudah berusia kanak-kanak kita sudah bisa bermain seperti bermain kelereng, dan permainan yang lain yang dipersamakan dengan itu. Kemudian setelah kita dewasa kita sudah bisa mengenali permainan-permainan seperti permainan game baik itu dimainkan dalam bentuk nen tendo, flashtation, sampai bermain game di komputer. Artinya perubahan baik itu secara fisik maupun secara keseharian kita telah banyak terjadi pada diri kita. Munculah pertanyaan perubahan apa lagi yang tidak tampak pada diri kita selaku umat manusia|? Jawabannya masih ada perubahan lagi yang belum nampak pada diri kita. Adapun faktor yang membuat kita sulit untuk berubah adalah faktor kemalasan. Yah, faktor itulah yang membuat kita sangat sulit untuk berubah. Misalnya kita malas belajar, malas beribadah, dan malas dalam melakukan segala hal-hal.
Jadi, berdasarkan fakta yang telah saya sebutkan di atas maka kita dapat menarik kesempulan bahwa malas adalah suatu hal yang membuat kita tidak bisa berubah ke arah yang lebih baik. Maka, wahai saudaraku marilah kita mencoba mengikis kemalasan kita. Bukankah Allah telah berfirman dalam surah ar-ra'ad yang berbunyi: "Innallaha layughairumabiqaumin hatta yughairumabiammfusihim" sesungguhnya Allah tidak merubah nasip suatu kaum kecuali mereka sendiri yang merubahnya". Semoga Allah SWT, senantiasa memberikan rahmatnya kepada kita sehingga kita bisa berubah dari arah yang jelek, menuju ke arah yang lebih baik. Dari jalan yang sesat menuju jalan yang dimuliakan oleh Allah. Amien!!!
Selasa, 29 Juni 2010
PELUANG YANG AKAN DATANG
Pada hari ini tepatnya pada tanggal 30-06-2010, ketika itu saya lagi jalan-jalan saya tiba-tiba dipanggil oleh ibu astuti untuk menerima rapor. Setelah saya terimah beliau mengatakan : "nanti saya bacakan nilaimu"! tapi dengan spontan saya menjawab: "ngak usa bu, nanti saya kasih orang melihat. Dan saya minta untuk dibacakan"!. Setelah saya mengatakan hal itu saya menerima rapor yang diserahkan langsung oleh ibu Astuti. Setelah itu, saya mencari orang melihat untuk membacakan daftar nilai-nilaiku selama kelas 1. Dan wal hasil mifta yang bersedia untuk membacakan raporku. di dalam rapor saya, ternyata nilai-nilai smester duaku saya rasa cukup memuaskan. Adapun nilai-nilai yang tercantum adalah untuk mata pelajaran agama mendapat nilai 8, PKN 7, ipa 7,5, OM 7, MTK 6, keterampilan 7, bahasa daerah 8, bahasa inggris 8, olahraga 7 dan bahasa indonesia 7. Jumla keseluruhan adalah 85,5. Dengan nilai itulah saya merasa sudah sangat memuaskan. Setelah saya mendengarkan nilai-nilaiku dibacakan, saya merasa bahwa peluangku untuk melaju ke kelas dua sudah terjawab, karena seluruh nilai-nilaiku sangat memuaskan. Saat itu, saya merasa sangat senang bercampur bahagia, karena peluang yang selama ini saya idam-idamkan terjawab suda. Tetapi saya juga merasa sangatlah bersedih, karena kelas 1 yang menjadi peluang pertamaku sudah kutinggalkan. Tetapi kenangan yang terindah selama kelas 1 SMP tidak akan perna saya lupakan. Melalui tulisan ini saya mengucapkan terima kasih kepada Allah yang telah memberikan kepada saya kekuatan sehingga saya bisa menyusun tulisan ini meskipun dengan hati senang campur bahagia. Terima kasih saya ucapkan kepada Ibu Astuti yang juga merupakan wali kelas saya selama kelas 1 atas jasa-jasamu selama ini. Karena dengan pengorbananmulah saya bisa menjadi siswa yang sangat teladan. Terakhir saya ucapkan terima kasih kepada ibu yang telah memberikan suport berupa do'anya semoga Allah senantiasa meridhoi saya dan seluruh yang sempat membaca tulisan ini. Dan semoga kita senantiasa dalam lindungannya sehingga kita bisa menjalankan segala perintahnya.
Sabtu, 19 Juni 2010
AKHIRNYA ULANGAN SMESTERKU SELESAI JUGA
Saya merasa sangat bersyukur, karena Allah masih memberikan kepada saya kekuatan dan rahmatnya sehingga saya bisa menyelesaikan ulangan smester di smester dua ini yang juga merupakan akhir dari perjuangan saya di kelas satu dan insya Allah saya akan meninggalkan kelas satu dan menuju ke kelas dua. Sebelumnya, saya mau cerita sedikit tentang kenangan yang paling indah selama saya di kelas satu mulai smester pertama sampai ke smester dua. Ketika saya baru naik kelas satu pada smester pertama, saya merasa sangat bangga pada saat itu, karena dengan naiknya saya di kelas satu SMP, itu berarti Masa SDku telah berakhir. Selama saya masih di kelas satu saya ditemani oleh 2 orang yang juga merupakan alumni dari YUKARTUNI. Sebut saja Lutfi dan Mukhlis. Tetapi ketika Pertengahan smester 1 ternyata teman saya yang satu ini harus hijra dari kelas satu menuju ke kelas tiga karena menurut hasil dari rapat dewan guru SLB-A YAPTI, teman saya yang satu ini layak diikutkan dalam ujian akhir nasional (UN) dan ujian akhir sekolah (US) tahun 2010. Jadi ketika masuk smester 2, Mukhlislah yang menjadi teman saya karena teman saya yang satu sudah lebih dahulu meninggalkan kami. Hal-hal lain yang menjadi kenangan saya selama di kelas satu adalah seringnya saya membawah tape ke kelas karena saya sering mendengarkan radio suara wahdah di kelas pada saat jam istirahat atau saat menunggu guru.
Seperti itulah kenangan-kenangan yang paling indah waktu saya masih di kelas satu. Dan kenangan itu akan terus terbayang-bayang dalam pikiranku hingga saya keluar meninggalkan Yapti kelak. Dan saya berharap semoga periode kesiswaan saya di kelas dua nanti akan lebih baik ketimbang di kelas satu. Selamat tinggal kelas satu SMP. Insya Allah aku akan terus mengenangmu dikala aku naik kelas dua kelak. Amin!!!!!
Seperti itulah kenangan-kenangan yang paling indah waktu saya masih di kelas satu. Dan kenangan itu akan terus terbayang-bayang dalam pikiranku hingga saya keluar meninggalkan Yapti kelak. Dan saya berharap semoga periode kesiswaan saya di kelas dua nanti akan lebih baik ketimbang di kelas satu. Selamat tinggal kelas satu SMP. Insya Allah aku akan terus mengenangmu dikala aku naik kelas dua kelak. Amin!!!!!
Minggu, 13 Juni 2010
PANDANGAN PRIBADI TENTANG FIFA WORLCUP 2010
Pada tahun 2010 ini, kembali dilaksanakan ajang sepak bola terakbar di dunia yaitu fifa worlcup 2010 yang apabila diartikan dalam bahasa Indonesia yaitu piala dunia 2010. Dalam ajang ini, seluruh grup sepak bola di negara-negara barat seperti Nigeria, Argentina, aprika baik itu aprika selatan maupun aprika utara turut ambil bagian dalam ajang bergengsi ini. untuk piala dunia tahun ini yang menjadi tuan rumah adalah aprika selatan. Mereka bertanding untuk memperebutkan piala. Sebenarnya selain piala dunia, masih banyak lagi ajang perhelatan sepak bola yang terkenal seperti liga Inggris, lliga champion, Liga super Indonesia, dan masih banyak lagi ajang sepak bola terbesar di dunia yang tidak saya sebutkan satu persatu. Namun dalam tulisan ini, saya akan menbahas seputar piala dunia aja, sebab kebetulan tahun ini ajangnya piala dunia. Jadi itu yang akan saya bahas pada tulisan ini. Bagi para penggila bola, pasti mereka udah ngak sabar menanti piala dunia. Terus, cara-cara menyambut piala dunia setiap orang juga berbeda-beda. Ada yang menggelar nonton barang piala dunia di beberapa tempat seperti di rumah ronda, ada juga yang menonton di rumah saja sendirian, dan masih banyak lagi cara-cara para pengila bola dalam menyambut piala dunia.
Terus bagaimana saudara-saudara kita yang tunanetra, gimanakah cara mereka menyambut piala dunia? Tentu bagi tunanetra yang masih memiliki penglihatan (lovition), mereka masih melihat adegan-adegan pemain bola di tv. Tapi bagi para tunanetra total (tidak memiliki penglihatan sama sekali mereka hanya mendengarkan suara-suara reporter meskipun reporternya berbahasa inggris, tapi tunanetra yang faham dalam berbahasa inggris tentu mereka tahu arti setiap kata-kata yang dikeluarkan oleh reporter.
Ya, meskipun saya bukan penggila bola, tapi ngak apa-apa saya membuat tulisan ini. Paling tidak saya sudah menulis karia tulis ini berdasarkan fakta, dokumenta, historika dan kenyataan yang saya lihat di lapangan saya juga membuat karia tulis ini bukan karena perintah, suruhan, apalagi amana yang saya jalankan dari teman, tetapi saya menulis ini karena didorong oleh keinginan yang paling kuat. Semoga Allah SWT, memberikan kekuatan untuk saya dan kepada kita sehingga kita bisa menjalankan segala perintahnya dan menjauhi segala yang dilarang. Dan semoga kita senantiasa berada di atas jalan yang dimuliakan.
Terus bagaimana saudara-saudara kita yang tunanetra, gimanakah cara mereka menyambut piala dunia? Tentu bagi tunanetra yang masih memiliki penglihatan (lovition), mereka masih melihat adegan-adegan pemain bola di tv. Tapi bagi para tunanetra total (tidak memiliki penglihatan sama sekali mereka hanya mendengarkan suara-suara reporter meskipun reporternya berbahasa inggris, tapi tunanetra yang faham dalam berbahasa inggris tentu mereka tahu arti setiap kata-kata yang dikeluarkan oleh reporter.
Ya, meskipun saya bukan penggila bola, tapi ngak apa-apa saya membuat tulisan ini. Paling tidak saya sudah menulis karia tulis ini berdasarkan fakta, dokumenta, historika dan kenyataan yang saya lihat di lapangan saya juga membuat karia tulis ini bukan karena perintah, suruhan, apalagi amana yang saya jalankan dari teman, tetapi saya menulis ini karena didorong oleh keinginan yang paling kuat. Semoga Allah SWT, memberikan kekuatan untuk saya dan kepada kita sehingga kita bisa menjalankan segala perintahnya dan menjauhi segala yang dilarang. Dan semoga kita senantiasa berada di atas jalan yang dimuliakan.
Sabtu, 05 Juni 2010
Intercultural Dialogue Report
Iyehezkiel Parudani
Sed 380 12785
Cross-Cultural Interaction in Multicultural Special Education
Introduction
As a part of class project, I opened up an intercultural dialogue with Abidin Raheem (unreal name), an international student from Pakistan. In this report, I will call him Raheem. Raheem has been here in Austin since 2006 for taking Doctoral Program in department of anthropology the University of Texas at Austin. I have known him since I arrived in the US for the first time. Because at the time I did not have apartment yet to live in, he offered me a help to live in his apartment for a few days.
I decided to choose him as my partner in this dialogue with three considerable things. Firstly, his research interest for his Doctoral Program is Multicultural Education that studies about disabbility and gender issue, mental model, beliefs, and system value patterns. Because he is a doctoral student who knows many things culturally, while I am a new comer, I need to learn many important and interesting issues related to the cultural areas such as disabbility and gender issue, mental model, beliefs, and system value patterns from him as an adult student (Hollins 2008 p.142). Secondly, Raheem is an easy person to make friends and wants to help anyone who needs his help. No wonder when I asked him to be my partner in the dialogue, he immediately accepted it, although he was about to plan to go to Honolulu for his research. I know, he has never said “no” if his friends aske his help. I don’t know why, it might because he is an Asian, who really enphesises indirect context in communication and avoid negative responses (Ting-Toomey and Chung 2005 p. 177-178). Before I contacted Raheem, I had contacted two other friends of mine, but they refused for the reason of being busy writing their final term paper. “I will be very grateful to be your partner in that dialogue if it will be a solution to help you succeed in your class”,” Raheem said very enthusiastically. Thirdly, I chosen Raheem as my partner in this dialogue due to the fact that we have some culturally different perspectives either in religion, linguistic, and ideology, nationality, mental model, and identity. Either Ting-Toomey and Chung (2005) or Kalyanpur and Harry (1999) indicate that the concept of intercultural interaction and communication has different meaning in all families, communities, and groups , depending upon their histories, traditions, beliefs, and values.
Method
Running our conversation based on face to face meeting, and making the atmosphere a little bit formal, the dialogue was taking place at 4520 Duval Street, Austin Texas, 78751 the USA. The dialogue lasted on October 13, 2009. I started the dialogue right at 10:30PM and ended right at 11:40PM. I provided some questions based on the presented materials in class. As I said previously that Raheem is an easy going person, he let me did anything or used any method as long as it helped me obtain the best result of our conversation. Then, I recorded the conversation to ensure that the collected data from the conversation is valid and reliable. During the conversation going, I was keeping the creativity and the decency of our communication to let Raheem know my mental model and value in communication since communication is a reflection of one’s culture (Ting-Toomey and Chung 2005 p. 2). Besides that, I wanted to keep the dialogue going formally. I asked Raheem many times not to use non-verbal communication in presenting his explanation since I am blind and unable to see his facial expression or body movement.
Results
As I mentioned before, Raheem is doing research in Multicultural Education, the area which encompases many different actual issues such as gender, disability, education, ethnicity, racial and political discrimination. From these actual issues, I decided to focus on religion, education, disability, and family.
Religion
I started our dialogue with the topic of religion. Since religion is the very sensitive area to touch on, I asked Raheem to freely correct me as he found my mistake mentioning or I had unacceptable questions regarding this topic. Raheem is a Moslem. He and his extended family are very religious. Raheem and his extended family do not drink any kinds of alcoholic drinks such as beers, whines, champagnes, otilia liqueur, etc. “Alcoholic drinks are extremely forbidden in Islam. In the Koran (the holy bible for Moslems) as it is written in Arabic language, alcoholic drinks are explicitly described as “غير مشروعة” (forbidden thing to touch, Raheem said. In addition, Raheem is also very active in doing the daily five obligatory prayer rituals that in Islam known as Dawn Prayer (Fjr or Subh), Noon Prayer (Zuhr), Midafternoon Prayer (Asr), Sunset Prayer (Maghrib), and Evening Prayer (Isha). When I asked about his experiences running his religion in the USA, a country that predominately non-Muslim religion, Raheem said, “I am really grateful that here in the U.S., I am not hindered to do my religion’s rituals”.
Education
Raheem values education very highly. For him, education is more important/valuable than wealth. “Life without education, like a car without gasoline,” Raheem’s illustration. However, he warned other people to be wisely educated; not to torment others. He philosophically said, “if If we are being educated merely to achieve distinction, to get a better job, to be more efficient, to have wider domination over others, then our lives will be shallow and empty. If we are being educated only to be scientists, to be scholars wedded to books, or specialists addicted to knowledge, then we shal be contributing to the destruction and misery of the world”.
He was sad, however, because his parents do not value education very well. He assumed that the horizontal conflict which persistently occurs in Pakistan, has made many families become pragmatic and do not have motivation to have even basic education. In his family, only Raheem who has higher education. Both of his parents did not finish their elementary level, while his brother and sisters graduated only from secondary school.
Seeing the fact that his parents do not respect for their children’s education, Raheem decided not to expect his school payment from his parents. He had to work himself to finance his school. Delivering newspapers, magazines, and tabloids, was one of some part time jobs that he had to do to pay his school before he got fool bright scholarship to come to the United States for his Doctoral Degree.
Family
According to Ting-Toomey and Chung (2005 p. 111), “extended family consists of grandparents, aunts and uncles, cousins, and nieces and nephews”. Raheem is a person who comes from the culture that values extended family. In his country, Raheem lives in a big house together with his grandparents, father and mother, aunts, uncles, cousins, brothers and sisters, and nieces and nephiews. “Because in my culture,” Raheem’s said, a woman should follow her husband after married, my mother and some other women who married my uncles, also live together in the same house with us.” Raheem father has second wife who lives in another city. Therefore, Raheem’s father has to share his responsibility to two wives. Every month, usually in the second week, his father goes to his second wife and lives there for three or four days. When I asked about the houshold power sharing, Raheem said, “in my family, everything should be decided by a husband as the decision maker. However, for any decision decided by a husband, must be discussed with his wife before it is implemented.” “Furthermore,” Raheem said, “my father and uncles work for erning money for the family’s expenses while my mother and aunts are responsible to take care of household affairs such as cooking, cleaning up the house, and taking care of the kids.” “In addition,” Raheem said, “the adult children of my family are expected to pley their role to either go work with my father or uncles or stay home with my mother and aunts for the household affairs. In this case, the adult mail children play the role as my father and uncles do, while the adult female children play the role as my mother and aunts do.” By paying attention to Raheem’s elaboration, I see that small distant power and masculinity value pattern is strongly implemented in his family relationship. I also asked Raheem about the language used in his family. Amazingly, there are four languages use in his family. They are Urdu, Hindi, Arabic, and English. His father and
Disability
The last topic I discussed with Raheem was issue about disability. This is the most sentimental topic of our discussion since I am a blind person. In this section, we focused on blind and visually impaired people. Raheem said, “Well in my country blinds are not felt as unless people of society. I remember I had lesson in class two where it was mentioned that we need to help blind people as I helped blind people whenever they needed. I never recall any bad experience where someone who had discriminated against the blind people. In my culture, helping blind people are considered as religious responsibility as our religion says help poor people as they are made like this by God, so, by helping them and accepting those as they are following religious rules.” When I asked him about the most availability job for blind and visually impaired people in Pakistan, Raheem said that being a tutor on how to read Koran perfectly, masseur/acupuncture,, and musician are three most availability job for the blind and visually impaired in Pakistan.
(Help me to make conclution as the closing part of this dialogue).
This dialogue has helped me becoming more aware of the diversity of people’s culture. According to Sternberg (1999) as it was cited by Ting-Toomey and Chang (2005 p 9), “We learn more from people who are different from us than from those who are similar to us”.
Sed 380 12785
Cross-Cultural Interaction in Multicultural Special Education
Introduction
As a part of class project, I opened up an intercultural dialogue with Abidin Raheem (unreal name), an international student from Pakistan. In this report, I will call him Raheem. Raheem has been here in Austin since 2006 for taking Doctoral Program in department of anthropology the University of Texas at Austin. I have known him since I arrived in the US for the first time. Because at the time I did not have apartment yet to live in, he offered me a help to live in his apartment for a few days.
I decided to choose him as my partner in this dialogue with three considerable things. Firstly, his research interest for his Doctoral Program is Multicultural Education that studies about disabbility and gender issue, mental model, beliefs, and system value patterns. Because he is a doctoral student who knows many things culturally, while I am a new comer, I need to learn many important and interesting issues related to the cultural areas such as disabbility and gender issue, mental model, beliefs, and system value patterns from him as an adult student (Hollins 2008 p.142). Secondly, Raheem is an easy person to make friends and wants to help anyone who needs his help. No wonder when I asked him to be my partner in the dialogue, he immediately accepted it, although he was about to plan to go to Honolulu for his research. I know, he has never said “no” if his friends aske his help. I don’t know why, it might because he is an Asian, who really enphesises indirect context in communication and avoid negative responses (Ting-Toomey and Chung 2005 p. 177-178). Before I contacted Raheem, I had contacted two other friends of mine, but they refused for the reason of being busy writing their final term paper. “I will be very grateful to be your partner in that dialogue if it will be a solution to help you succeed in your class”,” Raheem said very enthusiastically. Thirdly, I chosen Raheem as my partner in this dialogue due to the fact that we have some culturally different perspectives either in religion, linguistic, and ideology, nationality, mental model, and identity. Either Ting-Toomey and Chung (2005) or Kalyanpur and Harry (1999) indicate that the concept of intercultural interaction and communication has different meaning in all families, communities, and groups , depending upon their histories, traditions, beliefs, and values.
Method
Running our conversation based on face to face meeting, and making the atmosphere a little bit formal, the dialogue was taking place at 4520 Duval Street, Austin Texas, 78751 the USA. The dialogue lasted on October 13, 2009. I started the dialogue right at 10:30PM and ended right at 11:40PM. I provided some questions based on the presented materials in class. As I said previously that Raheem is an easy going person, he let me did anything or used any method as long as it helped me obtain the best result of our conversation. Then, I recorded the conversation to ensure that the collected data from the conversation is valid and reliable. During the conversation going, I was keeping the creativity and the decency of our communication to let Raheem know my mental model and value in communication since communication is a reflection of one’s culture (Ting-Toomey and Chung 2005 p. 2). Besides that, I wanted to keep the dialogue going formally. I asked Raheem many times not to use non-verbal communication in presenting his explanation since I am blind and unable to see his facial expression or body movement.
Results
As I mentioned before, Raheem is doing research in Multicultural Education, the area which encompases many different actual issues such as gender, disability, education, ethnicity, racial and political discrimination. From these actual issues, I decided to focus on religion, education, disability, and family.
Religion
I started our dialogue with the topic of religion. Since religion is the very sensitive area to touch on, I asked Raheem to freely correct me as he found my mistake mentioning or I had unacceptable questions regarding this topic. Raheem is a Moslem. He and his extended family are very religious. Raheem and his extended family do not drink any kinds of alcoholic drinks such as beers, whines, champagnes, otilia liqueur, etc. “Alcoholic drinks are extremely forbidden in Islam. In the Koran (the holy bible for Moslems) as it is written in Arabic language, alcoholic drinks are explicitly described as “غير مشروعة” (forbidden thing to touch, Raheem said. In addition, Raheem is also very active in doing the daily five obligatory prayer rituals that in Islam known as Dawn Prayer (Fjr or Subh), Noon Prayer (Zuhr), Midafternoon Prayer (Asr), Sunset Prayer (Maghrib), and Evening Prayer (Isha). When I asked about his experiences running his religion in the USA, a country that predominately non-Muslim religion, Raheem said, “I am really grateful that here in the U.S., I am not hindered to do my religion’s rituals”.
Education
Raheem values education very highly. For him, education is more important/valuable than wealth. “Life without education, like a car without gasoline,” Raheem’s illustration. However, he warned other people to be wisely educated; not to torment others. He philosophically said, “if If we are being educated merely to achieve distinction, to get a better job, to be more efficient, to have wider domination over others, then our lives will be shallow and empty. If we are being educated only to be scientists, to be scholars wedded to books, or specialists addicted to knowledge, then we shal be contributing to the destruction and misery of the world”.
He was sad, however, because his parents do not value education very well. He assumed that the horizontal conflict which persistently occurs in Pakistan, has made many families become pragmatic and do not have motivation to have even basic education. In his family, only Raheem who has higher education. Both of his parents did not finish their elementary level, while his brother and sisters graduated only from secondary school.
Seeing the fact that his parents do not respect for their children’s education, Raheem decided not to expect his school payment from his parents. He had to work himself to finance his school. Delivering newspapers, magazines, and tabloids, was one of some part time jobs that he had to do to pay his school before he got fool bright scholarship to come to the United States for his Doctoral Degree.
Family
According to Ting-Toomey and Chung (2005 p. 111), “extended family consists of grandparents, aunts and uncles, cousins, and nieces and nephews”. Raheem is a person who comes from the culture that values extended family. In his country, Raheem lives in a big house together with his grandparents, father and mother, aunts, uncles, cousins, brothers and sisters, and nieces and nephiews. “Because in my culture,” Raheem’s said, a woman should follow her husband after married, my mother and some other women who married my uncles, also live together in the same house with us.” Raheem father has second wife who lives in another city. Therefore, Raheem’s father has to share his responsibility to two wives. Every month, usually in the second week, his father goes to his second wife and lives there for three or four days. When I asked about the houshold power sharing, Raheem said, “in my family, everything should be decided by a husband as the decision maker. However, for any decision decided by a husband, must be discussed with his wife before it is implemented.” “Furthermore,” Raheem said, “my father and uncles work for erning money for the family’s expenses while my mother and aunts are responsible to take care of household affairs such as cooking, cleaning up the house, and taking care of the kids.” “In addition,” Raheem said, “the adult children of my family are expected to pley their role to either go work with my father or uncles or stay home with my mother and aunts for the household affairs. In this case, the adult mail children play the role as my father and uncles do, while the adult female children play the role as my mother and aunts do.” By paying attention to Raheem’s elaboration, I see that small distant power and masculinity value pattern is strongly implemented in his family relationship. I also asked Raheem about the language used in his family. Amazingly, there are four languages use in his family. They are Urdu, Hindi, Arabic, and English. His father and
Disability
The last topic I discussed with Raheem was issue about disability. This is the most sentimental topic of our discussion since I am a blind person. In this section, we focused on blind and visually impaired people. Raheem said, “Well in my country blinds are not felt as unless people of society. I remember I had lesson in class two where it was mentioned that we need to help blind people as I helped blind people whenever they needed. I never recall any bad experience where someone who had discriminated against the blind people. In my culture, helping blind people are considered as religious responsibility as our religion says help poor people as they are made like this by God, so, by helping them and accepting those as they are following religious rules.” When I asked him about the most availability job for blind and visually impaired people in Pakistan, Raheem said that being a tutor on how to read Koran perfectly, masseur/acupuncture,, and musician are three most availability job for the blind and visually impaired in Pakistan.
(Help me to make conclution as the closing part of this dialogue).
This dialogue has helped me becoming more aware of the diversity of people’s culture. According to Sternberg (1999) as it was cited by Ting-Toomey and Chang (2005 p 9), “We learn more from people who are different from us than from those who are similar to us”.
Sabtu, 01 Mei 2010
AKHIRNYA PELATIHAN KEMITRAAN ANGKATAN KE-4 KEMBALI DIGELAR
OLEH: ADE SAPUTRA
Pada tanggal 24-25 April 2010, Dewan pengurus daerah persatuan tunanetra Indonesia Sulawesi selatan (DPD PERTUNI SULSEL) kembali mengelar pelatihan kemitraan angkatan ke-4. Pelatihan tersebut diikuti oleh seluruh kalangan pelajar termasuk mahasiswa dari berbagai universitas di Makassar. Dalam pelatihan tersebut diajarkan bagaimana cara menuntun tunanetra agar bisa aman, nyaman, dan selamat. Selain itu para peserta juga mendapatkan materi tentang kepertunian yang dibawakan oleh salah satu pengurus PERTUNI yaitu Muhammad Rais yang merupakan salah satu toko tunanetra. Ke esokan harinya tepatnya pada tanggal 25-04-2010, para peserta kembali mendapatkan dua materi yaitu mengenal lebih dekat Bamper yang dibawakan oleh kakanda nurul khasana yang juga merupakan ketua biro pemberdayaan perempuan. Kemudian para peserta juga mendapatkan materi dari Bapak budayawan sulsel siapa lagi kalau bukan DRS. Alwi Rahman tapi saya tidak tahu apa materi yang dibawakan oleh beliau karena selama pelatihan berlangsung ruangan pelatihan dalam keadaan tertutup sehingga saya tidak terlalu bisa mendengarkan materi dari beliau. Kemudian tepat pada pukul 02.30, para peserta diberi materi praktek mendampingi. Pada saat itu saya tak ketinggalan ambil bagian dalam materi praktek tersebut. Dimana pada materi tersebut, setiap peserta harus mendampingi tunanetra. Saat itu, kak salfia yang paling akrab disebut kak fia yang mendampingi saya. Praktek tersebut diselenggarakan di Mol panakukang. Kami berangkat dari YAPTI sekitar pukul 20.30. Setelah kami sampai di mol, kamipun dibawah berjalan-jalan menelusuri mol. Disela-sela perjalanan, kak fia membeli sekotak kue. Kemudian tepat pada pukul 16.00, kami harus kembali ke yapti.
Akhirnya terima kasih ya Allah engkau telah memberikan kesempatan bagi kami para tunanetra yang tergabung dalam PERTUNI untuk mengelar pelatihan kemitraan. Semoga engkau senantiasa meridhoi kami sehingga kami bisa menjalankan perintahmu....... amin!
Pada tanggal 24-25 April 2010, Dewan pengurus daerah persatuan tunanetra Indonesia Sulawesi selatan (DPD PERTUNI SULSEL) kembali mengelar pelatihan kemitraan angkatan ke-4. Pelatihan tersebut diikuti oleh seluruh kalangan pelajar termasuk mahasiswa dari berbagai universitas di Makassar. Dalam pelatihan tersebut diajarkan bagaimana cara menuntun tunanetra agar bisa aman, nyaman, dan selamat. Selain itu para peserta juga mendapatkan materi tentang kepertunian yang dibawakan oleh salah satu pengurus PERTUNI yaitu Muhammad Rais yang merupakan salah satu toko tunanetra. Ke esokan harinya tepatnya pada tanggal 25-04-2010, para peserta kembali mendapatkan dua materi yaitu mengenal lebih dekat Bamper yang dibawakan oleh kakanda nurul khasana yang juga merupakan ketua biro pemberdayaan perempuan. Kemudian para peserta juga mendapatkan materi dari Bapak budayawan sulsel siapa lagi kalau bukan DRS. Alwi Rahman tapi saya tidak tahu apa materi yang dibawakan oleh beliau karena selama pelatihan berlangsung ruangan pelatihan dalam keadaan tertutup sehingga saya tidak terlalu bisa mendengarkan materi dari beliau. Kemudian tepat pada pukul 02.30, para peserta diberi materi praktek mendampingi. Pada saat itu saya tak ketinggalan ambil bagian dalam materi praktek tersebut. Dimana pada materi tersebut, setiap peserta harus mendampingi tunanetra. Saat itu, kak salfia yang paling akrab disebut kak fia yang mendampingi saya. Praktek tersebut diselenggarakan di Mol panakukang. Kami berangkat dari YAPTI sekitar pukul 20.30. Setelah kami sampai di mol, kamipun dibawah berjalan-jalan menelusuri mol. Disela-sela perjalanan, kak fia membeli sekotak kue. Kemudian tepat pada pukul 16.00, kami harus kembali ke yapti.
Akhirnya terima kasih ya Allah engkau telah memberikan kesempatan bagi kami para tunanetra yang tergabung dalam PERTUNI untuk mengelar pelatihan kemitraan. Semoga engkau senantiasa meridhoi kami sehingga kami bisa menjalankan perintahmu....... amin!
Kamis, 29 April 2010
KETEGARAN LIE
Oleh : Firman
Makassar, dimasa-masa permasalahan etnis Tiong Hoa masih diliputi suasana mencekam, masih terisolirnya budaya yang terkenal dengan Barongsai dan film Kung Fu atau yang biasa disebut Sersil (Serial Silat), lahirlah seorang anak laki-laki dan diberi nama Lie Sau Ran. Dengan Perawakan sedikit berbeda dengan anak kebanyakan dan melihat dari marga keluarga serta wajah orientalnya pastilah ia anak keturunan Tiong Hoa. Kehadiran anak laki-laki yang merupakan anak pertama keluarga Go disambut suka cita dan setiap saat dipanjatkan doa-doa yang kelak ketika besar bayi Lie Sau Ran dapat membawa berkah, sehat sejahtera dan limpahan rezeki bagi keluarga besarnya. Setelah menginjak usia sekolah, Lie Sau Ran, yang sehari-hari dipanggil Lie oleh orang tua dan keluarganya, dimasukkan ke taman kanak-kanak, TK Barunawati. Hari – hari bocah berkulit putih dan mata sipit ini, sangat ceria , aktif dan pengetahuannya akan sesuatu membuatnya semakin disayang oleh guru-guru di sekolah.
Sifat aktif dan serba ingin tahu dibanding teman-teman TK-nya, dibawah sampai Lie menammatkan sekolah dasar. Prestasi yang di raih Lie selalu membanggakan orangtuanya yang sehari – hari membuka bengkel dikawasan Jl. Kalimantan. Setelah menduduki sekolah lanjutan pertama, kelas dua, kehidupan Lie dan keluarganya berubah seratus delapan puluh derajat. Keluarga kecil ini mendapat ujian dari Allah. Lie yang selalu membuat keluarganya bangga akan sifat santun dan patuh pada kedua orangtua, mengalami hal yang tidak pernah dibayangkan oleh Lie remaja dan tentu saja keluarga besarnya. Lie yang suka musik, mengalami kebutaan yang disebabkan oleh sakit mata putih yang dideritanya.
Hal inilah yang menyebabkan jiwa Lie terguncang dan seakan dunia ini tidak adil padanya. Bayangan masa remaja begitu sulit dan suram. Dirinya tak menyangka seketika penglihatannya yang begitu terang benderang berubah menjadi gelap gulita. Cobaan ini begitu berat, apalagi menurut dokter, penglihatannya tak dapat dikembalikan lagi, walau Ibunya ingin mendonorkan matanya untuk Lie. Ia dan keluarganya harus menerima kenyataan pahit . Kenyataan bahwa sehari-hari Lie akan menabrak benda-benda yang ada disekitarnya, kenyataan bahwa Lie harus memulai dari nol untuk mengenal seisi rumah dan lingkungannya, kenyataan bahwa Lie akan masuk ke dalam masyarakat yang senantiasa termarginalisasi menerima tertawaan, cemoohan dan rasa kasian yang berlebihan dari orang – orang disekitarnya.
Dengan mata berkaca - kaca Lie mencoba membesarkan hati ibunya yang tidak berhenti mengeluarkan air mata semenjak mengetahui mata Lie tidak berfungsi lagi.
“Sudahlah Bu…” , kata Lie bijaksana sambil mengusap air mata Ibunya. Ibu Lie belum bisa menerima kenyataan pahit itu, ia pun rela mendonorkan kedua mata untuk anak kesayangannya, namun dokter tetap saja mengatakan tidak ada harapan untuk mengembalikan penglihatan Lie . Dengan sisa-sisa semangat yang ada di hati Lie , penyuka pangsit mie, mencoba membesarkan hati orangtuanya dengan selalu berusaha mandiri dan ceria walau itu dilakukan dengan susah payah dan terkadang Lie menangis sembunyi-sembunyi dikamar mandi.
Lie remaja yang berambut hitam tebal, putus asa melakukan itu semua, putus asa harus selalu menampakkan wajah gembira padahal dalam hati Lie begitu menyiksa. Apalagi ketika berjalan, kakinya terantuk kaki kursi karena ia belum mengenal betul letak perabot rumahnya, sehingga menimbulkan memar, dan terpaksa rasa sakit ini ditelannya sendiri, kuatir Ibu Bapaknya sedih. Itu belum seberapa, ketika telapak kaki kanan laki-laki penyuka warna hijau ini, menginjak paku payung yang ujungnya sudah berkarat, dengan rasa sakit yang tertahan , Lie meraba-raba telapak kakinya, mencari letak paku. Dengan menahan perih yang amat sangat dia berhasil juga mengeluarkan paku itu . Lie remaja meringis kesakitan sehingga mengeluarkan air mata. Bertambah putus asa , membayangkan hari-hari yang dilalui hanya menjadi beban orang tua dan setiap hari yang dilakukan makan dan tidur. Hati Lie berontak namun dia tidak bisa melakukan apa-apa, kuatir membuat repot orang tuanya jika ia mengatakan kebosanannya dengan rutinitas sehari-hari semenjak dia mengalami kebutaan.
Hari berganti hari, setahun telah berlalu, remaja tanggung ini masih merenungi nasib yang dialami, dan Lie belum berani menyampaikan kepada orang tuanya keinginan untuk beradaptasi diluar rumah. Namun diam-diam Ibu Lie mengetahui kegelisahan anak sulungnya dan berusaha mencari tahu sekolah khusus bagi penyandang tunanetra. Berkat usaha yang tidak mengenal lelah, doa yang setiap hari dipanjatkan, akhirnya Ibu Lie menemukan sekolah yang dikhususkan untuk tunanetra tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah lanjutan pertama. Hal ini sungguh sangat menggembirakan bagi Lie yang sudah berada di tingkat jenuh menghadapi kesehariannya.
Dengan harap-harap cemas, ibu dan anak ini memasuki halaman asrama Panti Guna YAPTI. Bayangan kecemasan sempat membuat Lie putus asa. Bagaimana cara dia mengikuti proses belajar, bagaimana bergaul dengan komunitasnya, yang kesemuanya adalah tunanetra. Beribu macam pertanyaan dan kecemasan bergelayut dihatinya. Ibu Lie melirik anak sulungnya sambil senyum bijaksana, walau Lie tidak melihat senyum Ibunya. Ibu Lie yang bernama asli Hartati, bisa merasakan kecemasan anaknya. Digenggamnya tangan Lie erat seakan-akan memberi kekuatan pada anaknya yang berumur 14 tahun sambil menuju ruang kepala sekolah.
” Hayo nak, kamu pasti bisa menjalani ini semua. Ibu memang sedih dan cemas berpisah denganmu, apalagi dengan kondisimu seperti saat ini. Tapi ibu juga tidak mau melihatmu begini terus tanpa masa depan”. Bisik ibu yang masih cantik diusia yang ke 43 tahun.
Dengan ramah Ibu Iis, kepala sekolah SLB-A YAPTI menerima kedatangan Lie dan Ibunya, melakukan wawancara seperlunya dan pendataan. Lie diperkenalkan dengan bapak, Ibu guru yang berada di ruang kepala sekolah SLB-A YAPTI, sekolah khusus untuk penyandang tunanetra, dimana SLB ini satu-satunya sekolah bagian A di kota Makassar. Nampak Lie senyum malu-malu , walau masih ada kecemasan tersendiri yang dirasakannya. Setelah menyelesaikan beberapa keperluan administrasi, Lie diantar oleh Ibu Iis, Ibu Abital beserta Ibu Lie menuju lantai dua, dimana Lie diasramakan selama mengikuti proses belajar di SLB-A YAPTI.
Kamar Lie berada diujung barat asrama YAPTI. Sedang diujung timur merupakan asrama yang dihuni oleh tunanetra khusus wanita. Kamar Lie dihuni oleh sepuluh orang yang kesemuanya laki-laki, dan nantinya menjadi teman Lie selama diasramakan. Kamar bercat putih ini mempunyai lima tempat tidur susun, masing-masing tempat tidur diselingi dengan lemari dua pintu dan tiga meja belajar. Dengan sigap Ibu Abital guru matematika, meraih tangan kanan Lie untuk memperlihatkan seisi kamar dengan cara meraba satu persatu letak tempat tidur , lemari, meja dan letak kamar mandi.
” Nah...disini Lie tidur. Lantai dua ditempati Fadli, nanti ibu kenalkan ya”. Terang Ibu Abital dengan dialek daerah yang kental sambil menyentuhkan tempat tidur kasur beralaskan seprei merah. Lie dengan wajah kekanak-kanakannya tersenyum sambil mengingat-ngingat letak seisi kamar. Hatinya masih diliputi rasa cemas, tidak percaya diri.
”Bagaimana aku bisa menjalani semua ini tanpa Ibu disampingku. Siapa yang akan mencuci pakaianku, siapa yang menyiapkan makananku, siapa........”, batinnya berkecamuk.
” Lie melamun ya?”. Tegur Ibu Iis ramah. ”Ditanya kok tidak dijawab?”. Kata ibu yang berjilbab ini. Lie gelagapan menyadari dirinya jadi pusat perhatian. Wajah putihnya bersemu merah lalu menunduk malu.
”Tidak bu”. Jawabnya dengan suara kecil namun jelas.
”Ada yang ingin Lie sampaikan ke Ibu, sebelum kita keruang kelas?” tanya Ibu Iis lagi sambil menyentuh pundak Lie yang wajahnya sudah mulai ditumbuhi jerawat kecil.
” Tidak bu” , jawabnya malu-malu.
” Baiklah kalau tidak ada yang ingin disampaikan , mari kita kekelas”. Ajak Ibu Iis sambil meraih telapak tangan kanan Lie , mendampingi, diikuti Ibu Lie dan ibu Abital.
Sepanjang menuju kelas 1 SMP di lantai satu , Ibu Iis menjelaskan secara detil letak ruangan dan kegiatan esktrakulikuler di SLB-A YAPTI serta memberi motivasi, agar mulai sekarang Lie harus mengerjakan segala sesuatu dengan mandiri, walau dengan kondisi visual yang terbatas, namun kemandirian harus dibina. Melakukan kegiatan seperti mencuci piring sehabis makan, membersihkan kamar dan tempat tidur, mencuci pakaian , melipat pakaian dan merapikannya dilemari. Lie hanya mengangguk sambil menundukkan kepalanya. Buatnya masih asing untuk memulai hal yang baru lagi . Namun dalam hati, dikumpulkan segenap tekad untuk merubah hidupnya kelak. Lie remaja menyadari, tak satupun bisa tercapai tanpa suatu perjuangan dan tekad yang kuat, seperti yang dikatakan papanya jika berbincang-bincang dengannya .
Di tempat yang baru ini, Lie mulai beradaptasi dengan hal-hal yang baru. Setelah dibina dan digembleng oleh guru-guru dan pembina di yayasan ini, dengan susah payah akhirnya dia berhasil juga melakukan kegiatan kerumah tanggaan dengan mandiri seperti mencuci pakaian, piring, menyapu, dan setiap hari minggu kerja bakti, seperti non tunanetra lainnya. Dia teringat pertanyaan teman sekelasnya ketika bertandang diasrama sehabis pulang sekolah, dengan heran dan penasaran Angga melontarkan pertanyaan,
” Bagaimana kalau seorang tunanetra mandi, sikat gigi, apa dimandikan atau disikat gigikan?”. Lie yang mendengar pertanyaan temannya ini ketawa terbaha-bahak.
” Yah... pengalaman saya selama ini”, kata Lie memulai penjelasannya sambil senyum-senyum, ”Kalau kami-kami ini mau mandi dipanggilkan mobil kebakaran lalu kumpul di lapangan, berdiri berjejer kemudian disemprot air . Trus kalau sikat gigi, kami punya sikat gigi yang panjang terbuat dari kayu dan sisi-sisinya dipasangi tasi tebal, kami juga berdiri berjejer, lalu pembina mulai menyikat gigi kami, dengan satu gerakan sepuluh gigi tersikat ”. Tambah Lie, kali ini tawanya memecah ruang musik.
” Sorry man......becanda. Ya nggaklah. Sama kok dengan orang awas. Mandi seperti biasa dan sikat gigi seperti biasa juga tanpa dibantu”. Jelasnya setelah ketawanya reda.
”Angga, memang kami tidak bisa melihat, tapi kalau soal semangat, kecerdasan, skill, bolehlah kami diadu”. Saya dan kamu cuman beda tipis kok, beda di visualisasi. Selebihnya sama saja. Kamukan sudah lihat kegiatan-kegiatan diasrama ini . Jadi saya harap kamu menjadi mitra kami untuk menginformasikan kepada khalayak bahwa, walau keadaan kami yang kurang namun jangan dipandang sebelah mata. Kami juga punya hak yang sama dengan warga lainnya. Hak hidup lebih baik dan sejahtera, hak mendapat pekerjaan, hak pendidikan, hak berkreasi serta mengekspresikan diri. Kami ini tidak butuh dikasihani atau diberi bingkisan pada acara ceremonial saja, tapi kesempatan untuk meraih cita-cita dan hidup layak seperti orang normal lainnya”. Jelas Lie panjang lebar dengan mimik serius.
Hari- hari yang dilalui Lie bersama 35 orang tunanetra sangat menyenangkan, apalagi hobinya dimusik terutama gebuk drum semakin tersalurkan dengan fasilitas yang tersedia di asrama. Hal yang baru saja dia kuasai adalah mengoperasikan komputer. Dengan tekhnologi JAWS (Job Acces With Speach) seorang tunanetra dapat dengan mandiri mengetik dikomputer seperti orang melihat lainnya, mendengar buku serta mencari situs di internet. ” Allah maha penyayang, dengan kondisiku yang tidak sempurna ini, Allah memberi pengetahuan untuk menciptakan tekhnologi komputer bicara, sehingga saya dengan mudah dapat menuangkan hobi menulisku secara mandiri”, bathinnya penuh syukur sambil mengetik naskah cerpen. ”Ah.... dibalik semua kejadian, Allah memberi hikmah yang sangat luar biasa. Saya tidak menyesali apa yang terjadi dengan penglihatanku, karena mataku ini punya Allah, jadi kapanpun maha pencipta memintanya kembali, sebagai mahluknya tidak berkuasa untuk menolak. Walau demikian, dengan kondisi terbatas, aku masih punya pendengaran, tangan, kaki, otak dan nuarani untuk selalu mensyukuri nikmat Allah. Insya Allah akan kupergunakan apa yang tersisa pada diriku untuk selalu menikmati karunianya”. Tambahnya membathin sambil terus menyelesaikan naskah cerita pendek. Ada senyum manis tersungging dibibirnya.
Tanpa terasa waktu terus bergulir, berputar mengiringi berbagai aktifitas keseharian penghuni asrama YAPTI. Hari ini tahun keenam Lie berada di asrama, itu berarti tahun yang menegangkan buatnya, karena tahun ini akan menyelesaikan pendidikannya di sekolah menengah atas . Sekolah inklusi, istilah untuk institusi pendidikan yang menerima komunitas penyandang cacat bergabung dengan siswa-siswi non penyandang cacat. Hatinya mulai diliputi rasa cemas, apa dia akan lulus ujian atau malah harus mengulang dikelas tiga. Tak dihiraukannya, seseorang dari kejauhan yang juga cemas melihat sikapnya, sebatar- sebentar mondar-mandir bak setrikaan, sebentar – sebentar duduk.
” Lie, sudah sarapan belum?”. Sapa Fadli teman sekamar Lie, yang kini tumbuh menjadi pemuda dewasa. Yang disapa tidak mendengar, asyik mendudukkan kepala sambil kedua tangannya bergerak mengikuti gebukan drum. Istilah dalam ilmu ketunanetraan adalah blind nisem yaitu gerakan refleks yang dilakukan tunanetra sehingga menimbulkan kesan lucu atau kikuk. Biasanya seorang tunanetra akan melakukannya dalam keadaan diam.
”Hai...!! pagi-pagi melamun”. Sekali lagi Fadli menegur temannya yang dipanggil friend sambil menyenggol pergelangan tangan Lie .
”Eh......,mm....sudah”. Jawabnya datar.
Kembali laki-laki yang diatas bibirnya sudah mulai ditumbuhi kumis tipis, melakukan aktifitas seakan-akan gebuk drum. Fadli hanya angkat alis melihat sikap sahabatnya.
Seratus meter dari tempat duduk sahabat kental ini, wajah manis berambut sebahu, yang sedari tadi memperhatikan Lie, melirik malu –malu kearah laki-laki marga Go . Pingin menegur dan memberi semangat, tapi tidak tahu harus memulai dari mana. Wanita muda ini hanya memperhatikan wajah Lie dari tempatnya duduk, nampak wajahnya bersemu merah menyadari kelakuannya yang sangat memalukan.
” Siapa disitu !”. Menyadari ada yang memperhatikannya, Lie bersuara.
” Saya..., eng.....”. Jawab Kayla dengan suara tipis, wajahnya menunduk.
”Duh.....kenapa jadi begini. Aku harus bagaimana?. Duh... bodohnya diriku. Aku salah tingkah, padahal Lie tidak bisa melihatku’. Kata Kayla dalam hati.
”O....”. Lie menjawab dengan suara bulat, kemudian melanjutkan lamunannya.
Kayla bertambah bodoh dibuatnya. Dengan keberanian yang tersisa didiri Kayla, gadis berwajah putih ini mencoba memecahkan kesunyian.
” Kak Lie, besok jam berapa pengumuman ujiannya?” Sebetulnya pertanyaan bodoh karena Kayla sudah tahu jam berapa pengumuman ujian kelas tiga, Kayla sendiri satu sekolah dengan Lie, Lie kakak kelas Kayla.
” O......, jam sebelas mungkin”. Jawab Lie sekenanya, kemudian berdiri dan berlalu dari ruang tamu asrama tanpa menunjukkan ekspresi apapun.
Kayla sangat dongkol melihat sikap acuh Lie. Namun Kayla hanya diam sambil bolak-balik lembaran buku smart emotion karangan Anthoni Deo Marthin yang dipegangnya. Lie mengeluh pendek.
” Maafkan saya La. Kamu sangat baik padaku. Dari kelas satu SMA sampai sekarang kamu selalu membantu saya membacakan buku, menulis tugas sekolah. Kamu selalu ada setiap saya membutuhkan pertolongan. Aku sangat menyukaimu. Tapi, aku ragu, apakah kamu juga menyukaiku. Memang kamu sangat perhatian padaku tapi apa itu berarti kamu juga menyukaiku?”. Perang bathin berkecamuk dihati Lie.
Sebetulnya hati Lie sakit. Sakit menunjukkan sikap acuh pada Kayla. Tapi mau bagaimana lagi. Bergegas Lie masuk kekamarnya, mengambil compack disk lalu memasukkan CD rekaman buku bermain dengan drum.
” Maafkan saya La ”. Bisik Lie sekali lagi sambil mendengarkan rekaman tersebut.
Kayla masih duduk diruang tamu asrama. Nampak Muli, salah seorang tunanetra wanita asyik menyimak buku yang dibacakan oleh Kayla. Kayla yang sehari-hari sebagai volunteer atau istilah di asrama YAPTI ini adalah mitra bakti, membantu dengan sukarela. Mempunyai kegiatan membacakan buku, mengantar seorang tunanetra kesuatu tempat yang baru dikunjungi, dan mengerjakan pekerjaan yang tidak memungkin seorang tunanetra mengerjakannya sendiri. Selama dua tahun bermitra di yayasan ini banyak pengalaman yang didapat Kayla, semangat baca bukunya meningkat, pengetahuannya bertambah dan beragam, semakin mengenal karakter seseorang, serta pengalaman organisasinya berkembang. Bagi Kayla yang berkulit hitam manis, ini pengalaman yang sangat luar biasa, dan membuatnya betah berlama- lama bila berkunjung diasrama bercat coklat. Kayla semakin memahami kebesaran Allah. Allah Maha Benar, tidak ada yang membedakan dirinya yang melihat dengan seorang tunanetra.
Selama ini orang menganggap, penyandang cacat khususnya tunanetra hanya bisa merepotkan orang lain, tapi kenyataannya seorang tunanetra bisa juga melakukan hal – hal diluar dugaan seperti memperbaiki lemari, kursi, bahkan menjadi pilot pesawat sekalipun. Yang membedakan hanya cara pandang akan sesuatu dan semangat untuk meningkatkan diri keluar dari kebodohan. Inilah yang membuat Kayla kagum pada Lie, semangatnya untuk menjadi yang terbaik selalu diperlihatkan. Hatinya berdesir mengingat nama laki-laki yang mempunyai senyum misterius ini.
” Mul, sudah jam enam sore, Insya Allah besok bacaannya dilanjut lagi ya. Kakak mau pulang”.
”Eh... iya..., sampai lupa. Abis suara kakak merdu sih, jadi ngak bosan dengarnya”. Puji Muli. Yang dipuji hanya senyum – senyum sambil beranjak dari tempat duduknya.
”okey sampai ketemu lagi. Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh”.
” Waalaikum Salam Warahmatullahi Wabarakatuh, makasih ya kak”.
”Iya.....”.
********************
Angin semilir berhembus halus di wajah Lie. Didepannya ada secakir susu ovaltine panas dan roti manis. Sore ini hatinya suka cita karena minggu depan, akan memulai kehidupan yang baru dan semangat baru. ”Menjadi seorang mahasiswa”. ”Semoga aku bisa menjalani semuanya dengan lebih baik dan lebih tabah”. Doanya dalam hati penuh semangat.
”Cie.....mahasiswa ni ye....., iyo tawwa. Jadi kapan mulai kuliah?”. Tiba-tiba salah seorang mitra bakti , Lina, menghampiri Lie yang duduk sendiri dibawah pohon jambu.
” Insya Allah minggu depan”. Balas Lie sambil senyum.
” Iya pale, selamat, semoga menjadi mahasiswa yang terbaik. Jangan segan-segan minta tolong kalau memerlukan sesuatu. Poko na’ bilang sajalah”. Tawar Lina dengan logat Makassarnya.
” Pergi ka’ dulu nah, ada buku mau ku bacakan Ruslan”.
”Iye makasih”.
Lie bersyukur banyak teman-teman yang memperhatikan dirinya, memberi semangat untuk selalu berjuang menjadi yang terbaik. Lie sadar ketunanetraannya akan menjadi halangan tersendiri bila sudah aktif di kampus nanti. Namun Lie bertekad akan melalui itu semua . Ini hanya masalah penglihatan. Allah tidak akan meninggalkan hambanya yang selalu meminta pertolongan. Toh....senior-seniornya juga mengalami hal seperti dirinya tapi berhasil juga , malah sekarang ada yang berhasil menjadi salah seorang anggota KOMNAS HAM. Lagian hari-harinya akan lebih bersemangat karena disampingnya ada Kayla.
”Ops....!”. ”Kayla.....?” . Lie kaget sendiri dengan kata hatinya. Tiba-tiba rasa kangen mendera disetiap relung hatinya. ”Ya, aku harus ketemu Kayla. Mungkin terlambat mengatakan perasaanku, atau mungkin Kayla akan menolak diriku. Tapi setidak-tidaknya semua semakin jelas dan hatiku akan tenang menahan rindu.
Siang begitu terik, namun hati Lie sangat teduh. Tongkat putihnya diayun kiri kanan menyusuri jalan kecil menuju asrama. Dengan tongkat ini, mobilitasnya sangat terbantu. Karena tidak mungkin sepanjang hidupnya didampingi seorang mitra untuk mengantarnya kemana-mana. Karena mitra-mitra tersebut juga manusia, punya kesibukan tersendiri. Memang dalam waktu – waktu tertentu, dia harus ditemani, didampingi oleh orang awas, namun sebisa mungkin Lie melakukan aktifitasnya secara mandiri. Bagi Lie, dia harus bangkit menjadi yang terbaik, sudah waktunya untuk mandiri. Membuktikan pada diri sendiri dan pada dunia, bahwa tunanetra yang disandangnya, bukan suatu penghalang untuk meraih kesuksesan.
Hati Lie kebat kebit tidak karuan. Makanan didepannya hanya disentuh sesendok. Lie tidak berselera melanjutkan makan siangnya. Darah yang mengalir dalam tubuhnya berdesir aneh, rasa bahagia. Lie menekan tombol kecil disudut jam talking yang ada dipergelangan tangan kirinya. Terdengar suara yang menunjukkan pukul 14.37. Itu berarti dua jam lagi dari sekarang Kayla akan datang . Pagi tadi dikampus, Lie janjian ketemu Kayla di asrama ini. Lie bertekad akan menyatakan perasaannya. Sebetulnya disudut hati yang lain, Lie ragu. Apa benar Kayla juga punya perasaan yang sama dengannya. Berlahan-lahan Lie menepis keraguannya tersebut. ”Tidak, aku tidak bisa menundanya. Aku menyukai Kayla. Aku harus mengatakannya sekarang. Mungkin terlambat atau mungkin saya ditolak. Namun setidak-tidaknya perasaanku ini ada kepastiannya”. Berkecamuk bathin Lie.
Lie asyik mendengarkan e-book (elektronik book) Hary Potter ketika Kayla memasuki ruang komputer. ’” Siapa itu?”. Dengan langkah-langkah kaki Kayla, Lie tahu bahwa yang baru masuk itu pasti Kayla. Cewek yang membuat hari-harinya semakin berwarna.
”Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh”.
” Waalaikum Salam Warahmatullahi Wabarakatuh”.
” Kak, katanya ada yang ingin disampaikan ?” Tanya Kayla sambil menarik kursi dan duduk didepan Lie. Lie mematikan komputer. Lalu membalikkan badan kearah Kayla, memperbaiki duduknya. Hatinya kembali berdesir aneh. Lie tersenyum manis kearah Kayla. Kayla membalasnya. Walau Lie tidak melihat senyum gadis didepannya namun kepekaannya sangat luar biasa.
” La....., saya minta maaf memaggilmu kemari. Memang ada sesuatu yang ingin kusampaikan padamu”. Lie diam sejenak menyusun kata-kata yang tepat, agar tidak menyinggung perasaan Kayla dan maksud hatinya juga kesampaian. Kayla menahan napas dibuatnya. Hati kewanitaanya merasa apa yang akan disampaikan Lie, itu juga yang ada dihatinya. Namun Kayla menunggu pernyataan itu keluar dari bibir Lie sendiri.
” Ayo dong kak, lama sekali lamunannya. Buruan neh” . Desak Kayla dalam hati. Penasaran melihat sikap Lie.
” Aku juga punya perasaan yang sama dengan kakak kok”. Bisik Kayla lagi.
” La.....saya me...............”.
” Kay ..... hai....lho kok masih disini. Katanya mau menemani saya nonton. Kata mamamu kamu keasrama, jadi saya susul kesini. Aku sudah izin sama macemu. Kita nonton di TO ya. Ayo dong buruan ”. Tiba – tiba Hanung nyelong masuk keruang komputer.
” Hai ..Lie, apa kabar?” Hanung beralih kearah Lie, meraih tangan kanan Lie menjabat erat. Hanung salah seorang mitra bakti yang baru saja bergabung di yayasan ini.
” Alhamdulillah baik. Kak Hanung baik juga”. Lie sangat dongkol dengan kehadiran Hanung yang secara tiba-tiba. Apalagi dengan ajakan Hanung. Mereka sudah janjian nonton rupanya. Hati Lie sakit. Tapi Lie mencoba tersenyum tulus. Nampak Kayla serba salah. Wajahnya merah menahan marah.
’Siapa yang janjian nonton”. Gerutu Kayla dalam hati.
” Kak Lie ta......”
” La....ok besok saja ya , tugas bahasa inggris saya ditulis . Ini bukunya. Makasih sebelumnya. Selamat bersenang-senang”. Potong Lie sambil menyerahkan buku tulis ketangan Kayla. Lie beranjak pergi setelah pamit pada Hanung. Hancur hati Lie.
”Bodohnya diriku ini. Semestinya dari awal aku tahu, Hanung juga punya rasa terhadap Kayla. Saya memang tidak pantas kok”. Lie berjalan gontai menuju lantai dua, kekamarnya.
” Pasti Kayla lebih memilih Hanung dari pada diriku yang tidak bisa melihat. Apa yang bisa dibanggakan dari seorang tunanetra sepertiku”. Resah Lie dalam hati.
Masih ditempat duduknya, Kayla hanya memandang buku Lie. Hatinya kacau, kecewa, sakit hati. Pingin nangis sejadi-jadinya tapi malu dengan penghuni asrama ini. Tak dihiraukannnya desakan Hanung untuk segera beranjak dari tempat duduknya .
” Ah.... semestinya saya tahu, perasaan Lie cuma sebatas minta tolong dibacakan buku. Tidak lebih. Apalah saya ini, masih SMA. Tentu cewek-cewek dikampusnya banyak yang cantik dan lebih cerdas dariku. Lebih loyal untuk membantunya”.
” Ayo dong buruan, sudah jam setengah lima’. Desak Hanung lagi.
Perlahan Kayla beranjak dari tempat duduknya, mengikuti langkah Hanung. wajahnya masih muram. Berat sekali kakinya untuk melangkah. Ketika melewati asrama, kepala Kayla mendongak kearah kamar Lie berharap ada bayangan Lie atau terdengar suara Lie. Namun hatinya kecewa. Ada sepotong hatinya tertinggal diasrama. Kayla menarik napas panjang mengeluarkan sesak didadanya.
Lie duduk diujung tempat tidurnya. Sepotong hatinya terbawa langkah kaki Kayla. Berkali-kali Lie manarik napas dan menghembuskannya secara perlahan. Ada air bening jatuh disudut mata Lie. Lie tidak menyekanya, membiarkan air matanya jatuh menyentuh lantai.
” Aku harus tegar, rasa ini hanya sedikit dari cobaan yang harus kuhadapi untuk meraih masa depan yang lebih cerah”. Bisiknya mencoba menghibur diri. Diingatnya semua bacaan dari pakar motivasi.
” Ya...! Aku harus bangkit. Mungkin belum waktunya merasakan hal seperti ini. Akan tiba saatnya. Yang penting aku harus semangat menyelesaikan kuliah. Menyusun semua target hidupku. Membuat bangga komunitas dan tentu saja kedua orang tua dan adikku”.
Senyum Lie kembali berkembang, manis dan tulus.
” bantu aku ya Allah”. Doanya dalam hati.
Lamat-lamat terdengar lagu Naff ”kesempurnaan cinta”
Kau begitu berarti, sungguh sangat berarti
Kesempurnaan cinta kau beri.......
Aku menyayangimu dalam senyum dan tangisku
Dan aku mencintaimu dalam hidup dan matiku..............
Makassar, dimasa-masa permasalahan etnis Tiong Hoa masih diliputi suasana mencekam, masih terisolirnya budaya yang terkenal dengan Barongsai dan film Kung Fu atau yang biasa disebut Sersil (Serial Silat), lahirlah seorang anak laki-laki dan diberi nama Lie Sau Ran. Dengan Perawakan sedikit berbeda dengan anak kebanyakan dan melihat dari marga keluarga serta wajah orientalnya pastilah ia anak keturunan Tiong Hoa. Kehadiran anak laki-laki yang merupakan anak pertama keluarga Go disambut suka cita dan setiap saat dipanjatkan doa-doa yang kelak ketika besar bayi Lie Sau Ran dapat membawa berkah, sehat sejahtera dan limpahan rezeki bagi keluarga besarnya. Setelah menginjak usia sekolah, Lie Sau Ran, yang sehari-hari dipanggil Lie oleh orang tua dan keluarganya, dimasukkan ke taman kanak-kanak, TK Barunawati. Hari – hari bocah berkulit putih dan mata sipit ini, sangat ceria , aktif dan pengetahuannya akan sesuatu membuatnya semakin disayang oleh guru-guru di sekolah.
Sifat aktif dan serba ingin tahu dibanding teman-teman TK-nya, dibawah sampai Lie menammatkan sekolah dasar. Prestasi yang di raih Lie selalu membanggakan orangtuanya yang sehari – hari membuka bengkel dikawasan Jl. Kalimantan. Setelah menduduki sekolah lanjutan pertama, kelas dua, kehidupan Lie dan keluarganya berubah seratus delapan puluh derajat. Keluarga kecil ini mendapat ujian dari Allah. Lie yang selalu membuat keluarganya bangga akan sifat santun dan patuh pada kedua orangtua, mengalami hal yang tidak pernah dibayangkan oleh Lie remaja dan tentu saja keluarga besarnya. Lie yang suka musik, mengalami kebutaan yang disebabkan oleh sakit mata putih yang dideritanya.
Hal inilah yang menyebabkan jiwa Lie terguncang dan seakan dunia ini tidak adil padanya. Bayangan masa remaja begitu sulit dan suram. Dirinya tak menyangka seketika penglihatannya yang begitu terang benderang berubah menjadi gelap gulita. Cobaan ini begitu berat, apalagi menurut dokter, penglihatannya tak dapat dikembalikan lagi, walau Ibunya ingin mendonorkan matanya untuk Lie. Ia dan keluarganya harus menerima kenyataan pahit . Kenyataan bahwa sehari-hari Lie akan menabrak benda-benda yang ada disekitarnya, kenyataan bahwa Lie harus memulai dari nol untuk mengenal seisi rumah dan lingkungannya, kenyataan bahwa Lie akan masuk ke dalam masyarakat yang senantiasa termarginalisasi menerima tertawaan, cemoohan dan rasa kasian yang berlebihan dari orang – orang disekitarnya.
Dengan mata berkaca - kaca Lie mencoba membesarkan hati ibunya yang tidak berhenti mengeluarkan air mata semenjak mengetahui mata Lie tidak berfungsi lagi.
“Sudahlah Bu…” , kata Lie bijaksana sambil mengusap air mata Ibunya. Ibu Lie belum bisa menerima kenyataan pahit itu, ia pun rela mendonorkan kedua mata untuk anak kesayangannya, namun dokter tetap saja mengatakan tidak ada harapan untuk mengembalikan penglihatan Lie . Dengan sisa-sisa semangat yang ada di hati Lie , penyuka pangsit mie, mencoba membesarkan hati orangtuanya dengan selalu berusaha mandiri dan ceria walau itu dilakukan dengan susah payah dan terkadang Lie menangis sembunyi-sembunyi dikamar mandi.
Lie remaja yang berambut hitam tebal, putus asa melakukan itu semua, putus asa harus selalu menampakkan wajah gembira padahal dalam hati Lie begitu menyiksa. Apalagi ketika berjalan, kakinya terantuk kaki kursi karena ia belum mengenal betul letak perabot rumahnya, sehingga menimbulkan memar, dan terpaksa rasa sakit ini ditelannya sendiri, kuatir Ibu Bapaknya sedih. Itu belum seberapa, ketika telapak kaki kanan laki-laki penyuka warna hijau ini, menginjak paku payung yang ujungnya sudah berkarat, dengan rasa sakit yang tertahan , Lie meraba-raba telapak kakinya, mencari letak paku. Dengan menahan perih yang amat sangat dia berhasil juga mengeluarkan paku itu . Lie remaja meringis kesakitan sehingga mengeluarkan air mata. Bertambah putus asa , membayangkan hari-hari yang dilalui hanya menjadi beban orang tua dan setiap hari yang dilakukan makan dan tidur. Hati Lie berontak namun dia tidak bisa melakukan apa-apa, kuatir membuat repot orang tuanya jika ia mengatakan kebosanannya dengan rutinitas sehari-hari semenjak dia mengalami kebutaan.
Hari berganti hari, setahun telah berlalu, remaja tanggung ini masih merenungi nasib yang dialami, dan Lie belum berani menyampaikan kepada orang tuanya keinginan untuk beradaptasi diluar rumah. Namun diam-diam Ibu Lie mengetahui kegelisahan anak sulungnya dan berusaha mencari tahu sekolah khusus bagi penyandang tunanetra. Berkat usaha yang tidak mengenal lelah, doa yang setiap hari dipanjatkan, akhirnya Ibu Lie menemukan sekolah yang dikhususkan untuk tunanetra tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah lanjutan pertama. Hal ini sungguh sangat menggembirakan bagi Lie yang sudah berada di tingkat jenuh menghadapi kesehariannya.
Dengan harap-harap cemas, ibu dan anak ini memasuki halaman asrama Panti Guna YAPTI. Bayangan kecemasan sempat membuat Lie putus asa. Bagaimana cara dia mengikuti proses belajar, bagaimana bergaul dengan komunitasnya, yang kesemuanya adalah tunanetra. Beribu macam pertanyaan dan kecemasan bergelayut dihatinya. Ibu Lie melirik anak sulungnya sambil senyum bijaksana, walau Lie tidak melihat senyum Ibunya. Ibu Lie yang bernama asli Hartati, bisa merasakan kecemasan anaknya. Digenggamnya tangan Lie erat seakan-akan memberi kekuatan pada anaknya yang berumur 14 tahun sambil menuju ruang kepala sekolah.
” Hayo nak, kamu pasti bisa menjalani ini semua. Ibu memang sedih dan cemas berpisah denganmu, apalagi dengan kondisimu seperti saat ini. Tapi ibu juga tidak mau melihatmu begini terus tanpa masa depan”. Bisik ibu yang masih cantik diusia yang ke 43 tahun.
Dengan ramah Ibu Iis, kepala sekolah SLB-A YAPTI menerima kedatangan Lie dan Ibunya, melakukan wawancara seperlunya dan pendataan. Lie diperkenalkan dengan bapak, Ibu guru yang berada di ruang kepala sekolah SLB-A YAPTI, sekolah khusus untuk penyandang tunanetra, dimana SLB ini satu-satunya sekolah bagian A di kota Makassar. Nampak Lie senyum malu-malu , walau masih ada kecemasan tersendiri yang dirasakannya. Setelah menyelesaikan beberapa keperluan administrasi, Lie diantar oleh Ibu Iis, Ibu Abital beserta Ibu Lie menuju lantai dua, dimana Lie diasramakan selama mengikuti proses belajar di SLB-A YAPTI.
Kamar Lie berada diujung barat asrama YAPTI. Sedang diujung timur merupakan asrama yang dihuni oleh tunanetra khusus wanita. Kamar Lie dihuni oleh sepuluh orang yang kesemuanya laki-laki, dan nantinya menjadi teman Lie selama diasramakan. Kamar bercat putih ini mempunyai lima tempat tidur susun, masing-masing tempat tidur diselingi dengan lemari dua pintu dan tiga meja belajar. Dengan sigap Ibu Abital guru matematika, meraih tangan kanan Lie untuk memperlihatkan seisi kamar dengan cara meraba satu persatu letak tempat tidur , lemari, meja dan letak kamar mandi.
” Nah...disini Lie tidur. Lantai dua ditempati Fadli, nanti ibu kenalkan ya”. Terang Ibu Abital dengan dialek daerah yang kental sambil menyentuhkan tempat tidur kasur beralaskan seprei merah. Lie dengan wajah kekanak-kanakannya tersenyum sambil mengingat-ngingat letak seisi kamar. Hatinya masih diliputi rasa cemas, tidak percaya diri.
”Bagaimana aku bisa menjalani semua ini tanpa Ibu disampingku. Siapa yang akan mencuci pakaianku, siapa yang menyiapkan makananku, siapa........”, batinnya berkecamuk.
” Lie melamun ya?”. Tegur Ibu Iis ramah. ”Ditanya kok tidak dijawab?”. Kata ibu yang berjilbab ini. Lie gelagapan menyadari dirinya jadi pusat perhatian. Wajah putihnya bersemu merah lalu menunduk malu.
”Tidak bu”. Jawabnya dengan suara kecil namun jelas.
”Ada yang ingin Lie sampaikan ke Ibu, sebelum kita keruang kelas?” tanya Ibu Iis lagi sambil menyentuh pundak Lie yang wajahnya sudah mulai ditumbuhi jerawat kecil.
” Tidak bu” , jawabnya malu-malu.
” Baiklah kalau tidak ada yang ingin disampaikan , mari kita kekelas”. Ajak Ibu Iis sambil meraih telapak tangan kanan Lie , mendampingi, diikuti Ibu Lie dan ibu Abital.
Sepanjang menuju kelas 1 SMP di lantai satu , Ibu Iis menjelaskan secara detil letak ruangan dan kegiatan esktrakulikuler di SLB-A YAPTI serta memberi motivasi, agar mulai sekarang Lie harus mengerjakan segala sesuatu dengan mandiri, walau dengan kondisi visual yang terbatas, namun kemandirian harus dibina. Melakukan kegiatan seperti mencuci piring sehabis makan, membersihkan kamar dan tempat tidur, mencuci pakaian , melipat pakaian dan merapikannya dilemari. Lie hanya mengangguk sambil menundukkan kepalanya. Buatnya masih asing untuk memulai hal yang baru lagi . Namun dalam hati, dikumpulkan segenap tekad untuk merubah hidupnya kelak. Lie remaja menyadari, tak satupun bisa tercapai tanpa suatu perjuangan dan tekad yang kuat, seperti yang dikatakan papanya jika berbincang-bincang dengannya .
Di tempat yang baru ini, Lie mulai beradaptasi dengan hal-hal yang baru. Setelah dibina dan digembleng oleh guru-guru dan pembina di yayasan ini, dengan susah payah akhirnya dia berhasil juga melakukan kegiatan kerumah tanggaan dengan mandiri seperti mencuci pakaian, piring, menyapu, dan setiap hari minggu kerja bakti, seperti non tunanetra lainnya. Dia teringat pertanyaan teman sekelasnya ketika bertandang diasrama sehabis pulang sekolah, dengan heran dan penasaran Angga melontarkan pertanyaan,
” Bagaimana kalau seorang tunanetra mandi, sikat gigi, apa dimandikan atau disikat gigikan?”. Lie yang mendengar pertanyaan temannya ini ketawa terbaha-bahak.
” Yah... pengalaman saya selama ini”, kata Lie memulai penjelasannya sambil senyum-senyum, ”Kalau kami-kami ini mau mandi dipanggilkan mobil kebakaran lalu kumpul di lapangan, berdiri berjejer kemudian disemprot air . Trus kalau sikat gigi, kami punya sikat gigi yang panjang terbuat dari kayu dan sisi-sisinya dipasangi tasi tebal, kami juga berdiri berjejer, lalu pembina mulai menyikat gigi kami, dengan satu gerakan sepuluh gigi tersikat ”. Tambah Lie, kali ini tawanya memecah ruang musik.
” Sorry man......becanda. Ya nggaklah. Sama kok dengan orang awas. Mandi seperti biasa dan sikat gigi seperti biasa juga tanpa dibantu”. Jelasnya setelah ketawanya reda.
”Angga, memang kami tidak bisa melihat, tapi kalau soal semangat, kecerdasan, skill, bolehlah kami diadu”. Saya dan kamu cuman beda tipis kok, beda di visualisasi. Selebihnya sama saja. Kamukan sudah lihat kegiatan-kegiatan diasrama ini . Jadi saya harap kamu menjadi mitra kami untuk menginformasikan kepada khalayak bahwa, walau keadaan kami yang kurang namun jangan dipandang sebelah mata. Kami juga punya hak yang sama dengan warga lainnya. Hak hidup lebih baik dan sejahtera, hak mendapat pekerjaan, hak pendidikan, hak berkreasi serta mengekspresikan diri. Kami ini tidak butuh dikasihani atau diberi bingkisan pada acara ceremonial saja, tapi kesempatan untuk meraih cita-cita dan hidup layak seperti orang normal lainnya”. Jelas Lie panjang lebar dengan mimik serius.
Hari- hari yang dilalui Lie bersama 35 orang tunanetra sangat menyenangkan, apalagi hobinya dimusik terutama gebuk drum semakin tersalurkan dengan fasilitas yang tersedia di asrama. Hal yang baru saja dia kuasai adalah mengoperasikan komputer. Dengan tekhnologi JAWS (Job Acces With Speach) seorang tunanetra dapat dengan mandiri mengetik dikomputer seperti orang melihat lainnya, mendengar buku serta mencari situs di internet. ” Allah maha penyayang, dengan kondisiku yang tidak sempurna ini, Allah memberi pengetahuan untuk menciptakan tekhnologi komputer bicara, sehingga saya dengan mudah dapat menuangkan hobi menulisku secara mandiri”, bathinnya penuh syukur sambil mengetik naskah cerpen. ”Ah.... dibalik semua kejadian, Allah memberi hikmah yang sangat luar biasa. Saya tidak menyesali apa yang terjadi dengan penglihatanku, karena mataku ini punya Allah, jadi kapanpun maha pencipta memintanya kembali, sebagai mahluknya tidak berkuasa untuk menolak. Walau demikian, dengan kondisi terbatas, aku masih punya pendengaran, tangan, kaki, otak dan nuarani untuk selalu mensyukuri nikmat Allah. Insya Allah akan kupergunakan apa yang tersisa pada diriku untuk selalu menikmati karunianya”. Tambahnya membathin sambil terus menyelesaikan naskah cerita pendek. Ada senyum manis tersungging dibibirnya.
Tanpa terasa waktu terus bergulir, berputar mengiringi berbagai aktifitas keseharian penghuni asrama YAPTI. Hari ini tahun keenam Lie berada di asrama, itu berarti tahun yang menegangkan buatnya, karena tahun ini akan menyelesaikan pendidikannya di sekolah menengah atas . Sekolah inklusi, istilah untuk institusi pendidikan yang menerima komunitas penyandang cacat bergabung dengan siswa-siswi non penyandang cacat. Hatinya mulai diliputi rasa cemas, apa dia akan lulus ujian atau malah harus mengulang dikelas tiga. Tak dihiraukannya, seseorang dari kejauhan yang juga cemas melihat sikapnya, sebatar- sebentar mondar-mandir bak setrikaan, sebentar – sebentar duduk.
” Lie, sudah sarapan belum?”. Sapa Fadli teman sekamar Lie, yang kini tumbuh menjadi pemuda dewasa. Yang disapa tidak mendengar, asyik mendudukkan kepala sambil kedua tangannya bergerak mengikuti gebukan drum. Istilah dalam ilmu ketunanetraan adalah blind nisem yaitu gerakan refleks yang dilakukan tunanetra sehingga menimbulkan kesan lucu atau kikuk. Biasanya seorang tunanetra akan melakukannya dalam keadaan diam.
”Hai...!! pagi-pagi melamun”. Sekali lagi Fadli menegur temannya yang dipanggil friend sambil menyenggol pergelangan tangan Lie .
”Eh......,mm....sudah”. Jawabnya datar.
Kembali laki-laki yang diatas bibirnya sudah mulai ditumbuhi kumis tipis, melakukan aktifitas seakan-akan gebuk drum. Fadli hanya angkat alis melihat sikap sahabatnya.
Seratus meter dari tempat duduk sahabat kental ini, wajah manis berambut sebahu, yang sedari tadi memperhatikan Lie, melirik malu –malu kearah laki-laki marga Go . Pingin menegur dan memberi semangat, tapi tidak tahu harus memulai dari mana. Wanita muda ini hanya memperhatikan wajah Lie dari tempatnya duduk, nampak wajahnya bersemu merah menyadari kelakuannya yang sangat memalukan.
” Siapa disitu !”. Menyadari ada yang memperhatikannya, Lie bersuara.
” Saya..., eng.....”. Jawab Kayla dengan suara tipis, wajahnya menunduk.
”Duh.....kenapa jadi begini. Aku harus bagaimana?. Duh... bodohnya diriku. Aku salah tingkah, padahal Lie tidak bisa melihatku’. Kata Kayla dalam hati.
”O....”. Lie menjawab dengan suara bulat, kemudian melanjutkan lamunannya.
Kayla bertambah bodoh dibuatnya. Dengan keberanian yang tersisa didiri Kayla, gadis berwajah putih ini mencoba memecahkan kesunyian.
” Kak Lie, besok jam berapa pengumuman ujiannya?” Sebetulnya pertanyaan bodoh karena Kayla sudah tahu jam berapa pengumuman ujian kelas tiga, Kayla sendiri satu sekolah dengan Lie, Lie kakak kelas Kayla.
” O......, jam sebelas mungkin”. Jawab Lie sekenanya, kemudian berdiri dan berlalu dari ruang tamu asrama tanpa menunjukkan ekspresi apapun.
Kayla sangat dongkol melihat sikap acuh Lie. Namun Kayla hanya diam sambil bolak-balik lembaran buku smart emotion karangan Anthoni Deo Marthin yang dipegangnya. Lie mengeluh pendek.
” Maafkan saya La. Kamu sangat baik padaku. Dari kelas satu SMA sampai sekarang kamu selalu membantu saya membacakan buku, menulis tugas sekolah. Kamu selalu ada setiap saya membutuhkan pertolongan. Aku sangat menyukaimu. Tapi, aku ragu, apakah kamu juga menyukaiku. Memang kamu sangat perhatian padaku tapi apa itu berarti kamu juga menyukaiku?”. Perang bathin berkecamuk dihati Lie.
Sebetulnya hati Lie sakit. Sakit menunjukkan sikap acuh pada Kayla. Tapi mau bagaimana lagi. Bergegas Lie masuk kekamarnya, mengambil compack disk lalu memasukkan CD rekaman buku bermain dengan drum.
” Maafkan saya La ”. Bisik Lie sekali lagi sambil mendengarkan rekaman tersebut.
Kayla masih duduk diruang tamu asrama. Nampak Muli, salah seorang tunanetra wanita asyik menyimak buku yang dibacakan oleh Kayla. Kayla yang sehari-hari sebagai volunteer atau istilah di asrama YAPTI ini adalah mitra bakti, membantu dengan sukarela. Mempunyai kegiatan membacakan buku, mengantar seorang tunanetra kesuatu tempat yang baru dikunjungi, dan mengerjakan pekerjaan yang tidak memungkin seorang tunanetra mengerjakannya sendiri. Selama dua tahun bermitra di yayasan ini banyak pengalaman yang didapat Kayla, semangat baca bukunya meningkat, pengetahuannya bertambah dan beragam, semakin mengenal karakter seseorang, serta pengalaman organisasinya berkembang. Bagi Kayla yang berkulit hitam manis, ini pengalaman yang sangat luar biasa, dan membuatnya betah berlama- lama bila berkunjung diasrama bercat coklat. Kayla semakin memahami kebesaran Allah. Allah Maha Benar, tidak ada yang membedakan dirinya yang melihat dengan seorang tunanetra.
Selama ini orang menganggap, penyandang cacat khususnya tunanetra hanya bisa merepotkan orang lain, tapi kenyataannya seorang tunanetra bisa juga melakukan hal – hal diluar dugaan seperti memperbaiki lemari, kursi, bahkan menjadi pilot pesawat sekalipun. Yang membedakan hanya cara pandang akan sesuatu dan semangat untuk meningkatkan diri keluar dari kebodohan. Inilah yang membuat Kayla kagum pada Lie, semangatnya untuk menjadi yang terbaik selalu diperlihatkan. Hatinya berdesir mengingat nama laki-laki yang mempunyai senyum misterius ini.
” Mul, sudah jam enam sore, Insya Allah besok bacaannya dilanjut lagi ya. Kakak mau pulang”.
”Eh... iya..., sampai lupa. Abis suara kakak merdu sih, jadi ngak bosan dengarnya”. Puji Muli. Yang dipuji hanya senyum – senyum sambil beranjak dari tempat duduknya.
”okey sampai ketemu lagi. Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh”.
” Waalaikum Salam Warahmatullahi Wabarakatuh, makasih ya kak”.
”Iya.....”.
********************
Angin semilir berhembus halus di wajah Lie. Didepannya ada secakir susu ovaltine panas dan roti manis. Sore ini hatinya suka cita karena minggu depan, akan memulai kehidupan yang baru dan semangat baru. ”Menjadi seorang mahasiswa”. ”Semoga aku bisa menjalani semuanya dengan lebih baik dan lebih tabah”. Doanya dalam hati penuh semangat.
”Cie.....mahasiswa ni ye....., iyo tawwa. Jadi kapan mulai kuliah?”. Tiba-tiba salah seorang mitra bakti , Lina, menghampiri Lie yang duduk sendiri dibawah pohon jambu.
” Insya Allah minggu depan”. Balas Lie sambil senyum.
” Iya pale, selamat, semoga menjadi mahasiswa yang terbaik. Jangan segan-segan minta tolong kalau memerlukan sesuatu. Poko na’ bilang sajalah”. Tawar Lina dengan logat Makassarnya.
” Pergi ka’ dulu nah, ada buku mau ku bacakan Ruslan”.
”Iye makasih”.
Lie bersyukur banyak teman-teman yang memperhatikan dirinya, memberi semangat untuk selalu berjuang menjadi yang terbaik. Lie sadar ketunanetraannya akan menjadi halangan tersendiri bila sudah aktif di kampus nanti. Namun Lie bertekad akan melalui itu semua . Ini hanya masalah penglihatan. Allah tidak akan meninggalkan hambanya yang selalu meminta pertolongan. Toh....senior-seniornya juga mengalami hal seperti dirinya tapi berhasil juga , malah sekarang ada yang berhasil menjadi salah seorang anggota KOMNAS HAM. Lagian hari-harinya akan lebih bersemangat karena disampingnya ada Kayla.
”Ops....!”. ”Kayla.....?” . Lie kaget sendiri dengan kata hatinya. Tiba-tiba rasa kangen mendera disetiap relung hatinya. ”Ya, aku harus ketemu Kayla. Mungkin terlambat mengatakan perasaanku, atau mungkin Kayla akan menolak diriku. Tapi setidak-tidaknya semua semakin jelas dan hatiku akan tenang menahan rindu.
Siang begitu terik, namun hati Lie sangat teduh. Tongkat putihnya diayun kiri kanan menyusuri jalan kecil menuju asrama. Dengan tongkat ini, mobilitasnya sangat terbantu. Karena tidak mungkin sepanjang hidupnya didampingi seorang mitra untuk mengantarnya kemana-mana. Karena mitra-mitra tersebut juga manusia, punya kesibukan tersendiri. Memang dalam waktu – waktu tertentu, dia harus ditemani, didampingi oleh orang awas, namun sebisa mungkin Lie melakukan aktifitasnya secara mandiri. Bagi Lie, dia harus bangkit menjadi yang terbaik, sudah waktunya untuk mandiri. Membuktikan pada diri sendiri dan pada dunia, bahwa tunanetra yang disandangnya, bukan suatu penghalang untuk meraih kesuksesan.
Hati Lie kebat kebit tidak karuan. Makanan didepannya hanya disentuh sesendok. Lie tidak berselera melanjutkan makan siangnya. Darah yang mengalir dalam tubuhnya berdesir aneh, rasa bahagia. Lie menekan tombol kecil disudut jam talking yang ada dipergelangan tangan kirinya. Terdengar suara yang menunjukkan pukul 14.37. Itu berarti dua jam lagi dari sekarang Kayla akan datang . Pagi tadi dikampus, Lie janjian ketemu Kayla di asrama ini. Lie bertekad akan menyatakan perasaannya. Sebetulnya disudut hati yang lain, Lie ragu. Apa benar Kayla juga punya perasaan yang sama dengannya. Berlahan-lahan Lie menepis keraguannya tersebut. ”Tidak, aku tidak bisa menundanya. Aku menyukai Kayla. Aku harus mengatakannya sekarang. Mungkin terlambat atau mungkin saya ditolak. Namun setidak-tidaknya perasaanku ini ada kepastiannya”. Berkecamuk bathin Lie.
Lie asyik mendengarkan e-book (elektronik book) Hary Potter ketika Kayla memasuki ruang komputer. ’” Siapa itu?”. Dengan langkah-langkah kaki Kayla, Lie tahu bahwa yang baru masuk itu pasti Kayla. Cewek yang membuat hari-harinya semakin berwarna.
”Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh”.
” Waalaikum Salam Warahmatullahi Wabarakatuh”.
” Kak, katanya ada yang ingin disampaikan ?” Tanya Kayla sambil menarik kursi dan duduk didepan Lie. Lie mematikan komputer. Lalu membalikkan badan kearah Kayla, memperbaiki duduknya. Hatinya kembali berdesir aneh. Lie tersenyum manis kearah Kayla. Kayla membalasnya. Walau Lie tidak melihat senyum gadis didepannya namun kepekaannya sangat luar biasa.
” La....., saya minta maaf memaggilmu kemari. Memang ada sesuatu yang ingin kusampaikan padamu”. Lie diam sejenak menyusun kata-kata yang tepat, agar tidak menyinggung perasaan Kayla dan maksud hatinya juga kesampaian. Kayla menahan napas dibuatnya. Hati kewanitaanya merasa apa yang akan disampaikan Lie, itu juga yang ada dihatinya. Namun Kayla menunggu pernyataan itu keluar dari bibir Lie sendiri.
” Ayo dong kak, lama sekali lamunannya. Buruan neh” . Desak Kayla dalam hati. Penasaran melihat sikap Lie.
” Aku juga punya perasaan yang sama dengan kakak kok”. Bisik Kayla lagi.
” La.....saya me...............”.
” Kay ..... hai....lho kok masih disini. Katanya mau menemani saya nonton. Kata mamamu kamu keasrama, jadi saya susul kesini. Aku sudah izin sama macemu. Kita nonton di TO ya. Ayo dong buruan ”. Tiba – tiba Hanung nyelong masuk keruang komputer.
” Hai ..Lie, apa kabar?” Hanung beralih kearah Lie, meraih tangan kanan Lie menjabat erat. Hanung salah seorang mitra bakti yang baru saja bergabung di yayasan ini.
” Alhamdulillah baik. Kak Hanung baik juga”. Lie sangat dongkol dengan kehadiran Hanung yang secara tiba-tiba. Apalagi dengan ajakan Hanung. Mereka sudah janjian nonton rupanya. Hati Lie sakit. Tapi Lie mencoba tersenyum tulus. Nampak Kayla serba salah. Wajahnya merah menahan marah.
’Siapa yang janjian nonton”. Gerutu Kayla dalam hati.
” Kak Lie ta......”
” La....ok besok saja ya , tugas bahasa inggris saya ditulis . Ini bukunya. Makasih sebelumnya. Selamat bersenang-senang”. Potong Lie sambil menyerahkan buku tulis ketangan Kayla. Lie beranjak pergi setelah pamit pada Hanung. Hancur hati Lie.
”Bodohnya diriku ini. Semestinya dari awal aku tahu, Hanung juga punya rasa terhadap Kayla. Saya memang tidak pantas kok”. Lie berjalan gontai menuju lantai dua, kekamarnya.
” Pasti Kayla lebih memilih Hanung dari pada diriku yang tidak bisa melihat. Apa yang bisa dibanggakan dari seorang tunanetra sepertiku”. Resah Lie dalam hati.
Masih ditempat duduknya, Kayla hanya memandang buku Lie. Hatinya kacau, kecewa, sakit hati. Pingin nangis sejadi-jadinya tapi malu dengan penghuni asrama ini. Tak dihiraukannnya desakan Hanung untuk segera beranjak dari tempat duduknya .
” Ah.... semestinya saya tahu, perasaan Lie cuma sebatas minta tolong dibacakan buku. Tidak lebih. Apalah saya ini, masih SMA. Tentu cewek-cewek dikampusnya banyak yang cantik dan lebih cerdas dariku. Lebih loyal untuk membantunya”.
” Ayo dong buruan, sudah jam setengah lima’. Desak Hanung lagi.
Perlahan Kayla beranjak dari tempat duduknya, mengikuti langkah Hanung. wajahnya masih muram. Berat sekali kakinya untuk melangkah. Ketika melewati asrama, kepala Kayla mendongak kearah kamar Lie berharap ada bayangan Lie atau terdengar suara Lie. Namun hatinya kecewa. Ada sepotong hatinya tertinggal diasrama. Kayla menarik napas panjang mengeluarkan sesak didadanya.
Lie duduk diujung tempat tidurnya. Sepotong hatinya terbawa langkah kaki Kayla. Berkali-kali Lie manarik napas dan menghembuskannya secara perlahan. Ada air bening jatuh disudut mata Lie. Lie tidak menyekanya, membiarkan air matanya jatuh menyentuh lantai.
” Aku harus tegar, rasa ini hanya sedikit dari cobaan yang harus kuhadapi untuk meraih masa depan yang lebih cerah”. Bisiknya mencoba menghibur diri. Diingatnya semua bacaan dari pakar motivasi.
” Ya...! Aku harus bangkit. Mungkin belum waktunya merasakan hal seperti ini. Akan tiba saatnya. Yang penting aku harus semangat menyelesaikan kuliah. Menyusun semua target hidupku. Membuat bangga komunitas dan tentu saja kedua orang tua dan adikku”.
Senyum Lie kembali berkembang, manis dan tulus.
” bantu aku ya Allah”. Doanya dalam hati.
Lamat-lamat terdengar lagu Naff ”kesempurnaan cinta”
Kau begitu berarti, sungguh sangat berarti
Kesempurnaan cinta kau beri.......
Aku menyayangimu dalam senyum dan tangisku
Dan aku mencintaimu dalam hidup dan matiku..............
Selasa, 13 April 2010
CERITA SEORANG NELAYAN
OLEH: ADE SAPUTRA
AL-KISAH:
Di sebuah desa, hiduplah sebuah keluarga kecil. Keluarga itu sangat harmonis, dan tidak begitu kaya dan tidak begitu miskin. Pokoknya kalau mau dibilang hidupnya tenga-tenga. Suatu hari kepala keluarga ini pergi berlayar untuk menghidupi keluarganya. Maklumlah, dia adalah seorang nelayan. Saat berada di tenga laut, perahu yang dikemudikannya tengelam. Seluruh perlatan nelayannya hanyut. begitupun dengan perahunya, tenggelam hanya dirinya yang selamat. "Ya Allah mengapanya semua ini harus terjadi? Gumamnya dalam hati. Sesaat kemudian, dari arah yang berlawanan, datanglah seorang pelaut. "Naiklah ke kapalku, aku akan menyelamatkanmu!" kata si pelaut. "Terima kasih sang pelaut!" katanya dengan senduh. Setelah sampai ke daratan, iapun kembali berdo'a "Ya Allah, Terima kasih engkau telah menyelamatkan aku melalui perantara seorang pelaut!" katanya dengan nada mendesak.
Cerita di atas menunjukkan bahwa kita harus berusaha dan berdo'a semoga Allah SWT menunjukkan jalannya agar kita bisa selamat.
AL-KISAH:
Di sebuah desa, hiduplah sebuah keluarga kecil. Keluarga itu sangat harmonis, dan tidak begitu kaya dan tidak begitu miskin. Pokoknya kalau mau dibilang hidupnya tenga-tenga. Suatu hari kepala keluarga ini pergi berlayar untuk menghidupi keluarganya. Maklumlah, dia adalah seorang nelayan. Saat berada di tenga laut, perahu yang dikemudikannya tengelam. Seluruh perlatan nelayannya hanyut. begitupun dengan perahunya, tenggelam hanya dirinya yang selamat. "Ya Allah mengapanya semua ini harus terjadi? Gumamnya dalam hati. Sesaat kemudian, dari arah yang berlawanan, datanglah seorang pelaut. "Naiklah ke kapalku, aku akan menyelamatkanmu!" kata si pelaut. "Terima kasih sang pelaut!" katanya dengan senduh. Setelah sampai ke daratan, iapun kembali berdo'a "Ya Allah, Terima kasih engkau telah menyelamatkan aku melalui perantara seorang pelaut!" katanya dengan nada mendesak.
Cerita di atas menunjukkan bahwa kita harus berusaha dan berdo'a semoga Allah SWT menunjukkan jalannya agar kita bisa selamat.
Sabtu, 10 April 2010
MOTIVASI DIRI
oleh: Ade saputra
Saudaraku, kita tahu bahwa hidup di dunia ini hanyalah sementara, kita pasti kembali menghadap Allah zat yang maha menciptakan apakah kita kembali ke hadapan Allah apakah dalam keadaan khusnul khatima ataukah dalam keadaan su'ul khatima. Itu semua tergantung amal yang kita kerjakan dalam kehidupan kita di dunia ini. Maka dari itu saudaraku seiman dan sekeyakinan, mumpung kita masih hidup di dunia ini perbanyaklah ibadah kepada Allah semoga kita kembali dalam keadaan khusnul khatima dan bukan dalam keadaan su'ul khatimah.
Saudaraku, kita tahu bahwa hidup di dunia ini hanyalah sementara, kita pasti kembali menghadap Allah zat yang maha menciptakan apakah kita kembali ke hadapan Allah apakah dalam keadaan khusnul khatima ataukah dalam keadaan su'ul khatima. Itu semua tergantung amal yang kita kerjakan dalam kehidupan kita di dunia ini. Maka dari itu saudaraku seiman dan sekeyakinan, mumpung kita masih hidup di dunia ini perbanyaklah ibadah kepada Allah semoga kita kembali dalam keadaan khusnul khatima dan bukan dalam keadaan su'ul khatimah.
Kamis, 08 April 2010
Akhirnya Instruktur Qira'ah jadi juga didatangkan
OLEH: ADE SAPUTRA
Suatu Malam, tepatnya di rumah jabatan kepala Panti Guna Yapti, diadakan rapat. Salah satu agendanya adalah keputusan panti untuk mendatangkan instruktur qira'ah. Dalam rapat tersebut, forum memutuskan bahwa untuk qira'ah akan didatangkan seorang Instruktur dari kalangan tunanetra (Alumni Yapti). Dia adalah Rappeasi yang lebih akrap disapa kak fera. Forum menyepakati bahwa jadwal yang diberikan adalah 3 hari yaitu senin, selasa, dan rabu. Tibalah pada hari Senin hasil kesepakatan pada malam itu telah tibah. Semua anak binaan Yapti terkecuali yang masih Ikra harus ikut. Awalnya bacaan yang disepakati adalah juz 30. Tetapi karena juz 30 itu amat gampang, jadi juz yang mula-mula dipelajari adalah juz 2 hingga seterusnya.
Akhirnya Terimakasih Ya Allah engkau telah menganugerahkan seorang Instruktur Qira'ah yang berpengalaman. Semoga engkau, melalui Kak Fera menjadikan kami menjadi generasi yang qur'ani, dan bisa menjadi seorang Instruktur apabila kami telah meninggalkan yapti kelak
Suatu Malam, tepatnya di rumah jabatan kepala Panti Guna Yapti, diadakan rapat. Salah satu agendanya adalah keputusan panti untuk mendatangkan instruktur qira'ah. Dalam rapat tersebut, forum memutuskan bahwa untuk qira'ah akan didatangkan seorang Instruktur dari kalangan tunanetra (Alumni Yapti). Dia adalah Rappeasi yang lebih akrap disapa kak fera. Forum menyepakati bahwa jadwal yang diberikan adalah 3 hari yaitu senin, selasa, dan rabu. Tibalah pada hari Senin hasil kesepakatan pada malam itu telah tibah. Semua anak binaan Yapti terkecuali yang masih Ikra harus ikut. Awalnya bacaan yang disepakati adalah juz 30. Tetapi karena juz 30 itu amat gampang, jadi juz yang mula-mula dipelajari adalah juz 2 hingga seterusnya.
Akhirnya Terimakasih Ya Allah engkau telah menganugerahkan seorang Instruktur Qira'ah yang berpengalaman. Semoga engkau, melalui Kak Fera menjadikan kami menjadi generasi yang qur'ani, dan bisa menjadi seorang Instruktur apabila kami telah meninggalkan yapti kelak
Langganan:
Postingan (Atom)